Pikukuh Karuhun: Pegangan Luhur Urang Kanekes Menghadapi Modernitas

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 12 November 2024 | 14:00 WIB
Warga adat Urang Kanekes membaca pengetahuan tentang diri mereka dari sebuah buku. Modernitas menjadi tantangan yang diperhatikan oleh masyarakat Urang Kanekes (Baduy) untuk mempertahankan nilai-nilai luhur lewat Pikukuh Karuhun. (Ddsyarifudin/Wikimedia Commons)

Masalahnya, sejak hadirnya ponsel, anak-anak justru mendapatkan pembelajaran dari sarana lain. Banyak ilmu modern yang masuk dan hiburan yang membuat generasi muda lebih banyak berinteraksi dengan pengetahuan baru. Hal ini menjadi tantangan dalam pewarisan ilmu pengetahuan Urang Kanekes.

Kantung plastik sekali pakai juga menjadi tantangan atas pelestarian alam tempat Urang Kanekes tinggal. Sejatinya, Urang Kanekes telah mengenal bungkus dari bahan alami, seperti daun pisang. Bungkusan diperlukan sebagai hancengan (bingkisan) dalam ritual Ngubaran Pare.

Karena modernitas, bungkus plastik dipakai menggantikan bahan alami. Iis mendapati bahwa bahwa bungkus plastik dan bahan alami dianggap sama oleh Urang Kanekes. Kebiasaan membuang bungkusan alami karena dapat terurai, pada akhirnya, dilakukan pula pada bungkus plastik yang membuatnya menjadi sampah.

Pikukuh Karuhun nan sakti

Sebagai upaya merespons modernitas dan mempertahankan adat, Iis menerangkan bahwa kalangan adat Urang Kanekes kerap berdiskusi. Dalam diskusi untuk mengadopsi nilai-nilai modernitas pun tidak jarang terdapat selisih pendapat dengan dasar Pikukuh Karuhun

Bagaimanapun, upaya ini terbukti mempertahankan identitas penting dengan memadukan aspek modernitas. Misalnya, dengan penjualan cenderamata secara daring yang dilakukan masyarakat  adat Urang Kanekes, wisatawan tidak harus datang.

Pembatasan jumlah wisatawan juga membantu masyarakat Urang Kanekes menjaga kawasan suci Sasaka Domas dari kerusakan pariwisata sebagai penghormatan kepada alam.

Nilai-nilai dan gagasan kebinekaan telah diturunkan orang tua Urang Kanekes kepada anak-anak mereka sejak dini. (RaiyaniM/Wikimedia Commons)

Selain itu, Urang Kanekes juga mengganti konsep pariwisata dengan cara pandang Saba Budaya. Saba Budaya merupakan pandangan etis dari paradigma Sunda Wiwitan Urang Kanekes untuk menjaga nilai leluhurnya sebagai sumber pengetahuan.

Dengan Saba Budaya, mereka enggan menjadikan dirinya sebagai tontonan wisatawan. Mereka mendorong agar wisatawan yang datang menjadi tamu yang bersilaturahmi yang setara dengan masyarakat adat.

Tantangan modernitas yang tak akan pernah usai

Iis menerangkan bahwa modernitas masih membawa tantangan bagi Urang Kanekes. Unsur ekonomi telah menggeser masyarakat adat yang sebelumnya bertani menjadi lebih memilih aktivitas pnjualan cendera mata. Transaksi perdagangan yang awalnya menggunan sistem barter dan emas, kini berganti dengan pembayaran digital.

Alih-alih mengandalkan pengetahuan lama dalam praktik medis dan kesehatan, masyarakat adat mulai memilih untuk ke rumah sakit atau puskemas. Pergeseran ini menjadi tantangan bagi keberlanjutan tradisi ilmu pengetahuan Urang Kanekes yang sebenarnya kaya dan layak digali.

Belum lagi, dunia digital menghadirkan tantangan kekerasan dan pelecahan seksual yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Beruntungnya, pengetahuan ini segera mulai dipelajari dari kalangan anak muda. Namun, pengetahuan baru ini mendapati tantangan mengenai hal tabu bagi Urang Kanekes yang memerlukan pertimbangan masyarakat adat.