Nationalgeographic.co.id - Jika mengunjungi masyarakat adat Urang Kanekes di Banten, kita akan berjumpa dengan beberapa warga yang menjajakan kain tenun, madu, dan aneka cenderamata yang bisa dibeli wisatawan.
Uniknya, Urang Kanekes, atau yang lebih populer disebut Baduy, bukanlah masyarakat adat yang biasa dianggap sebagai terisolasi dari modernitas. Anda dapat menyaksikan betapa kemasan mi instan tersedia sebagai panganan camilan warga Kanekes. Penggunaan ponsel sudah menjamur yang menjumpai mereka dengan dunia luar.
Modernitas tampaknya menjadi tantangan bagi masyarakat adat Urang Kanekes. Namun, mereka sendiri punya upaya memepertahankan tradisi mereka menghadapi modernitas berdasarkan pengetahuan mereka.
Upaya transformasi ini diungkapkan Iis Badriatul Munawaroh dalam tesisnya, Baduy Luar of Banteng: Engaging Modernity of Indigenous Transformation. Iis adalah alumni Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM yang mengobservasi masyarakat Urang Kanekes selama beberapa bulan.
Sejarah perubahan masyarakat adat Urang Kanekes bermula pada 1950-an, ketika penduduk kampung telah bertumbuh. Mereka membuka lahan berladang baru, sembari membangun permukiman baru di tempat yang sudah jauh dari kawasan adat Kanekes.
Pertumbuhan inilah yang membuat hari ini dikenal dua jenis bagian Urang Kanekes berdasarkan letak geografisnya. Bagian inti dari Desa Kanekes disebut sebagai Baduy Dalam yang terdiri dari tiga kampung, yakni Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik yang sangat kental mempertahankan tradisi Urang Kanekes.
Sementara 63 kampung yang mengelilinginya disebut sebagai Baduy Luar. "Baduy Luar semacam filter bagi orang-orang yang ingin mengunjungi Baduy Dalam," terang Iis, dalam Wednesday Forum yang diselenggarakan CRCS dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 2 Oktober 2024.
Lapisan dalam dan luar Urang Kanekes ini saling terikat sebagai masyarakat adat. Namun Baduy Luar adalah yang paling cepat menghadapi tantangan modernitas, salah satunya penggunaan ponsel dan bungkus plastik.
Pikukuh Karuhun menjadi konsep tradisi Urang Kanekes menghadapi modernitas. Konsep ini merupakan ajaran keyakinan Sunda Wiwitan yang menekankan keseimbangan alam dan manusia sebagai satu kesatuan yakni "hirup numpang di alam (Hidup menumpang di alam)". Alam disadari sebagai sosok selain manusia di dunia yang harus dijaga hubungannya.
Urang Kanekes menghadapi modernitas
Tradisi Urang Kanekes melarang anak-anaknya bersekolah dan pembelajaran nonformal lainnya dari pihak luar. Pengetahuan Urang Kanekes diwariskan dari para tetua adat dan keluarga.
Baca Juga: Praktik Mantra Masyarakat Adat Kampung Naga dan Kanekes yang Lestari
Masalahnya, sejak hadirnya ponsel, anak-anak justru mendapatkan pembelajaran dari sarana lain. Banyak ilmu modern yang masuk dan hiburan yang membuat generasi muda lebih banyak berinteraksi dengan pengetahuan baru. Hal ini menjadi tantangan dalam pewarisan ilmu pengetahuan Urang Kanekes.
Kantung plastik sekali pakai juga menjadi tantangan atas pelestarian alam tempat Urang Kanekes tinggal. Sejatinya, Urang Kanekes telah mengenal bungkus dari bahan alami, seperti daun pisang. Bungkusan diperlukan sebagai hancengan (bingkisan) dalam ritual Ngubaran Pare.
Karena modernitas, bungkus plastik dipakai menggantikan bahan alami. Iis mendapati bahwa bahwa bungkus plastik dan bahan alami dianggap sama oleh Urang Kanekes. Kebiasaan membuang bungkusan alami karena dapat terurai, pada akhirnya, dilakukan pula pada bungkus plastik yang membuatnya menjadi sampah.
Pikukuh Karuhun nan sakti
Sebagai upaya merespons modernitas dan mempertahankan adat, Iis menerangkan bahwa kalangan adat Urang Kanekes kerap berdiskusi. Dalam diskusi untuk mengadopsi nilai-nilai modernitas pun tidak jarang terdapat selisih pendapat dengan dasar Pikukuh Karuhun
Bagaimanapun, upaya ini terbukti mempertahankan identitas penting dengan memadukan aspek modernitas. Misalnya, dengan penjualan cenderamata secara daring yang dilakukan masyarakat adat Urang Kanekes, wisatawan tidak harus datang.
Pembatasan jumlah wisatawan juga membantu masyarakat Urang Kanekes menjaga kawasan suci Sasaka Domas dari kerusakan pariwisata sebagai penghormatan kepada alam.
Selain itu, Urang Kanekes juga mengganti konsep pariwisata dengan cara pandang Saba Budaya. Saba Budaya merupakan pandangan etis dari paradigma Sunda Wiwitan Urang Kanekes untuk menjaga nilai leluhurnya sebagai sumber pengetahuan.
Dengan Saba Budaya, mereka enggan menjadikan dirinya sebagai tontonan wisatawan. Mereka mendorong agar wisatawan yang datang menjadi tamu yang bersilaturahmi yang setara dengan masyarakat adat.
Tantangan modernitas yang tak akan pernah usai
Iis menerangkan bahwa modernitas masih membawa tantangan bagi Urang Kanekes. Unsur ekonomi telah menggeser masyarakat adat yang sebelumnya bertani menjadi lebih memilih aktivitas pnjualan cendera mata. Transaksi perdagangan yang awalnya menggunan sistem barter dan emas, kini berganti dengan pembayaran digital.
Alih-alih mengandalkan pengetahuan lama dalam praktik medis dan kesehatan, masyarakat adat mulai memilih untuk ke rumah sakit atau puskemas. Pergeseran ini menjadi tantangan bagi keberlanjutan tradisi ilmu pengetahuan Urang Kanekes yang sebenarnya kaya dan layak digali.
Belum lagi, dunia digital menghadirkan tantangan kekerasan dan pelecahan seksual yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Beruntungnya, pengetahuan ini segera mulai dipelajari dari kalangan anak muda. Namun, pengetahuan baru ini mendapati tantangan mengenai hal tabu bagi Urang Kanekes yang memerlukan pertimbangan masyarakat adat.