Belenggu Kaki hingga Cambuk di Kapal Budak yang Penuh Kekejian

By Galih Pranata, Minggu, 17 November 2024 | 08:05 WIB
Perbudakan mengerikan tidak hanya pada saat mereka bekerja di darat, melainkan sejak berada di atas kapal. Pengangkutan budak dari Afrika menuju Dunia Baru, Amerika, menjadi ironi sepanjang sejarah. (Getty Images/BBC)

Setelah enam belas jam di palka, semua orang Afrika digiring ke dek utama selama sekitar delapan jam setiap hari, jika cuaca memungkinkan. Di sana mereka diberi makan dua kali dan dipaksa.

Demi kelayakan nilai jual, para budak diminta untuk berlatih, untuk "menari" dan terkadang bernyanyi, meskipun hampir semua gerakan terasa menyakitkan bagi mereka yang diborgol dan dibelenggu kakinya.

Orang Afrika di kapal budak hidup dalam teror. Banyak dari mereka telah dipisahkan dari teman-teman, keluarga, dan komunitas mereka ketika pertama kali ditangkap, dan kemudian dipisahkan lagi di atas kapal.

Mereka adalah korban hukuman yang menderitakan kekejian dan eksploitasi seksual, serta di antara mereka pada percaya bahwa orang kulit putih berencana untuk membunuh dan memakan mereka hidup-hidup karena kekejiannya.

Meskipun, semua asumsi itu hanyalah kesalahpahaman para budak tentang kanibalisme Eropa yang sebenarnya dibuat-buat oleh beberapa elite Afrika yang memanipulasi sebangsa mereka dengan rasa takut akan perbudakan.

Orang-orang Afrika yang diangkut di atas kapal sejatinya menolak untuk dieksploitasi. Mereka lebih memilih untuk bunuh diri dengan melompat ke laut, sementara yang lain memilih mogok makan.

Ngerinya, bagi mereka yang memilih mogok makan, akan dipaksa makan oleh para kru dengan bantuan spekulum oris, instrumen berbentuk gunting dengan bantuan sekrup ibu jari, memaksa rahang terbuka.

Kru atau kapten kapal sering memperlakukan para pemogok makan dengan kekejaman khusus. Para tawanan yang diperbudak pun tetap memberontak. Mereka merencanakan tindakan mereka dengan hati-hati, menggunakan berbagai cara untuk berkomunikasi.

Risiko ketahuan sangat besar sehingga kelompok konspirator sering kali dijaga agar tetap terawasi oleh para kru. Dalam melakukan pemberontakan, banyak pria Afrika mendapat manfaat dari pengalaman sebelumnya dalam militer dan dalam beberapa kasus, para budak Afrika dapat mempergunakan senjata api Eropa.

Meskipun beberapa ratus kasus pemberontakan diketahui dari catatan kapal budak, pemberontakan biasanya gagal dan mengakibatkan hilangnya banyak nyawa bagi orang Afrika.

Hukuman yang mengerikan diberikan oleh kapten kapal untuk meredamnya. Perjalanan panjang ini penuh dengan ironi dan kekejian. Para budak benar-benar tak dimanusiakan, diperlakukan bak binatang.

Semua budak di Afrika yang terapung di atas laut dalam kapal budak, hanya akan diberi nomor oleh para kapten mereka. Namun, setelah sampai di daratan, mereka mulai dinamai dengan nama Inggris.