Nationalgeographic.co.id—Realitas perdagangan budak menuju Amerika atau perdagangan Transatlantik, menyibak satu catatan kelam yang berkepanjangan. Di antara para pria dan wanita yang turut dalam kapal budak, mereka berasal dari beragam wilayah.
Kebanyakan mereka diangkut dari atas dan bawah pantai barat Afrika—dari Senegambia di utara dan barat hingga wilayah yang disebut Pantai Budak di Benin saat ini dan Nigeria barat hingga Afrika Barat-Tengah.
Mereka datang dari pedalaman seiring berkembangnya perdagangan dan mengubah orang-orang di benua itu dari petani menjadi perampok, pedagang, dan pengungsi.
Brendan Wolfe menulis untuk Encyclopedia Virginia dalam artikel berjudul "Slave Ships" (2012). Dia menyebut bahwa budak-budak itu cenderung menjadi tawanan perang atau penjahat kelas teri.
Kekuatan Eropa sering kali mendorong atau mengobarkan perang tanpa alasan, selain untuk menghasilkan tawanan perang yang kemudian dieksploitasi tenaganya menjadi budak belian.
Agama mereka beragam—banyak orang Afrika, terutama di Angola, terpengaruh agama Kristen melalui misionarisme Portugis. Bahasa mereka juga beragam, tetapi, terutama di antara orang Afrika di wilayah yang sama, sering kali dapat dipahami satu sama lain.
Para kapten dalam kapal budak yang mengangkut mereka merasa khawatir untuk menyatukan orang-orang dengan bahasa mereka yang sama. Terlebih, kapten kapal takut mereka akan berbicara satu sama lain tanpa dimengerti sang kapten, padahal mereka merencanakan pemberontakan.
Kapten kapal budak adalah karyawan pedagang atau perusahaan di Eropa atau Amerika. Dia mempekerjakan dan mengelola awak kapal; melengkapi kapal; menjual kargo kapal untuk mengangkut manusia di pantai Afrika.
Yang paling perlu diperhatikan bahwa mereka menegakkan disiplin yang keras pada anggota awak kapal dan orang Afrika di atas kapal. Kapten dan krunya bekerja untuk mencegah pemberontakan dan penyakit yang menjangkiti di atas kapal.
Para budak yang diangkut dari jauh, seharusnya dalam kondisi baik dan bugar, sehingga para kapten dan krunya dapat menjual budak-budak itu ketika sampai di Amerika dengan harga dan kualitas terbaik.
Salah satu cara paling brutal dalam menertibkan pemberontakan adalah dengan menggunakan belenggu kaki. "Belenggu kaki yang digunakan menyebabkan rasa sakit dan membuat gerakan apa pun menjadi sulit," imbuh Brendan.
Beberapa kapten menggunakan borgol pergelangan tangan dan belenggu kaki, yang lain hanya menggunakan salah satunya. Beberapa kapten bahkan menolak untuk menahan kelompok etnis tertentu yang terbukti tidak mungkin memberontak.
Setelah enam belas jam di palka, semua orang Afrika digiring ke dek utama selama sekitar delapan jam setiap hari, jika cuaca memungkinkan. Di sana mereka diberi makan dua kali dan dipaksa.
Demi kelayakan nilai jual, para budak diminta untuk berlatih, untuk "menari" dan terkadang bernyanyi, meskipun hampir semua gerakan terasa menyakitkan bagi mereka yang diborgol dan dibelenggu kakinya.
Orang Afrika di kapal budak hidup dalam teror. Banyak dari mereka telah dipisahkan dari teman-teman, keluarga, dan komunitas mereka ketika pertama kali ditangkap, dan kemudian dipisahkan lagi di atas kapal.
Mereka adalah korban hukuman yang menderitakan kekejian dan eksploitasi seksual, serta di antara mereka pada percaya bahwa orang kulit putih berencana untuk membunuh dan memakan mereka hidup-hidup karena kekejiannya.
Meskipun, semua asumsi itu hanyalah kesalahpahaman para budak tentang kanibalisme Eropa yang sebenarnya dibuat-buat oleh beberapa elite Afrika yang memanipulasi sebangsa mereka dengan rasa takut akan perbudakan.
Orang-orang Afrika yang diangkut di atas kapal sejatinya menolak untuk dieksploitasi. Mereka lebih memilih untuk bunuh diri dengan melompat ke laut, sementara yang lain memilih mogok makan.
Ngerinya, bagi mereka yang memilih mogok makan, akan dipaksa makan oleh para kru dengan bantuan spekulum oris, instrumen berbentuk gunting dengan bantuan sekrup ibu jari, memaksa rahang terbuka.
Kru atau kapten kapal sering memperlakukan para pemogok makan dengan kekejaman khusus. Para tawanan yang diperbudak pun tetap memberontak. Mereka merencanakan tindakan mereka dengan hati-hati, menggunakan berbagai cara untuk berkomunikasi.
Risiko ketahuan sangat besar sehingga kelompok konspirator sering kali dijaga agar tetap terawasi oleh para kru. Dalam melakukan pemberontakan, banyak pria Afrika mendapat manfaat dari pengalaman sebelumnya dalam militer dan dalam beberapa kasus, para budak Afrika dapat mempergunakan senjata api Eropa.
Meskipun beberapa ratus kasus pemberontakan diketahui dari catatan kapal budak, pemberontakan biasanya gagal dan mengakibatkan hilangnya banyak nyawa bagi orang Afrika.
Hukuman yang mengerikan diberikan oleh kapten kapal untuk meredamnya. Perjalanan panjang ini penuh dengan ironi dan kekejian. Para budak benar-benar tak dimanusiakan, diperlakukan bak binatang.
Semua budak di Afrika yang terapung di atas laut dalam kapal budak, hanya akan diberi nomor oleh para kapten mereka. Namun, setelah sampai di daratan, mereka mulai dinamai dengan nama Inggris.