Nationalgeographic.co.id—Indonesia memiliki masa depan yang cerah dalam hal pengembangan circular economy atau ekonomi sirkular. Asal semua pihak mau berkolaborasi untuk bersama-sama menjalankannya.
Kira-kira itulah ringkasan dari acara bertajuk Film Screening & Awarding Ceremoy, di Erasmus Huis, Jakarta, Selasa (12/11/2024), yang digelar oleh Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia dan SayaPilihBumi.
"Jika circularity rate dunia saat ini ada pada angka 7,2 persen, Indonesia justru sedikit lebih tinggi, yaitu pada angka 9 persen," ujar Asri Hadiyanti Giastuti, perencana dari Direktorat Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut.
Meski terlihat perbedaannya hanya sedikit, tetapi, apa yang dicapai oleh Indonesia justru menjadi semacam anomali dari circularity rate yang terus mengalami penurunan sejak pertama kali diumumkan pada 2018.
Dalam edisi pertama laporan global circularity rate pada tahun 2018, angka yang muncul adalah 9,1 persen. Angka tersebut kemudian turun menjadi 8,6 persen pada 2021. Lalu, seperti dibahas di atas, angkanya kembali turun menjadi 7,2 persen pada 2024.
Circularity rate sendiri pada dasarnya dihitung berdasarkan berapa banyak bahan baku sekunder yang terdapat dalam setiap 100 miliar ton bahan yang dikeluarkan setiap tahunnya melalui ekonomi global.
Cukup tingginya angka circularity rate Indonesia, menurut Asri, disebabkan oleh semakin berkembangnya ekonomi sirkular di Indonesia, khususnya pada 5 sektor prioritas. Kelima sektor tersebut adalah kemasan plastik, elektronik, tekstil, konstruksi, dan pangan.
Dari kelimanya, menurut Asri, "Yang paling maju di Indonesia itu sektor plastik." Hal ini setidaknya jika merujuk pada botol-botol plastik PET yang jumlah industri daur ulangnya yang semakin banyak.
Bahkan, menurut Asri, saat ini Indonesia sudah menjadi salah satu pengekspor bijih plastik botol minuman.
Kemajuan tersebut akan semakin maksimal jika semua pihak yang berkepentingan melakukan kolaborasi dengan baik. "Ada pemerintah sebagai penyusun kebijakan, ada peran dari masyarakat sebagai pelaku di lapangan, dan terakhir peran dari media dalam menyebarkan informasi," jelas Asri.
Baca Juga: Merapah Banua, Gagasan Baru untuk Melestarikan Budaya dan Lingkungan Kapuas Hulu