Otokritik Buya Hamka Terhadap Adat Minangkabau dalam Karya Sastranya

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 17 November 2024 | 14:05 WIB
Buya Hamka (wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Semua peristiwa, pikiran, dan pandangan seorang tokoh tidak terlahir dalam ruang hampa, semua terwujud dalam konteks yang melingkupinya.

Begitu juga dengan Buya Hamka, seorang ulama, sastrawan, dan pemikir terkemuka Indonesia dengan karya-karyanya seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Merantau Ke Deli (1941) dan lain-lain.

Cara berpikir ulama kharismatik asal Minangkabau ini dipengaruhi oleh perkembangan era dan lingkungan sewaktu ia hidup.

Lahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah pada 17 Februari 1908, Hamka pada masa dewasanya mulai meyalurkan ide dan gagasan tertentu dalam novel-novelnya sekaligus mencerminkan sebuah pemikirannya terhadap suatu persoalan.

Salah satu persoalan yang disorotnya yakni perihal institusi adat, perempuan Minangkabau, dan orang luar dalam perubahan sosial di wilayahnya sendiri, Sumatra Barat.

Jonson Handrian Ginting dalam "Kritik Hamka Terhadap Institusi Adat Minangkabau Melalui Novel: Kajian Analisis Strukturalisme Levi-Strauss(Mukadimah Vo.7 No.2 Agustus 2023), memaparkan karya Hamka dan menemukan pola pemikiran yang direpresentasikannya.

"Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck berkisah tentang seorang lelaki keturunan campuran Zainuddin, ayahnya berasal dari Suku Minangkabau dan ibunya berasal dari Suku Bugis Makassar, polemik kemudian terjadi karena di Makassar ia dianggap orang Minangkabau, dan di Minangkabau ia dianggap sebagai orang Bugis Makassar," tulis Jonson.

Zainuddin ingin pergi bersilaturahmi dengan keluarga ayahnya di Minangkabau, di sanalah ia bertemu dan jatuh cinta kepada seorang gadis yang bernama Hayati.

Kisah cinta Hayati dan Zainuddin awalnya berjalan sangat romantis namun di pertengahan akhirnya kandas dan mereka harus berpisah.

Perpisahan tersebut dikarenakan institusi adat di Minangkabau tidak merestui hubungan mereka dan lebih memilih untuk menikahkan Hayati dengan salah seorang pemuda yang berasal dari keturunan asli orang Minangkabau, kaya dan terpandang.

"Struktur yang sama juga bisa terlihat dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Merantau Ke Deli, yang menunjukkan bahwa Hamka secara konsisten menempatkan Ninik Mamak atau institusi adat sebagai antagonis," ungkap Jonson.

Baca Juga: Rendang dan Gudeg: Jejak Tradisi dan Sejarah dalam Setiap Sajian

Dalam hal ini, institusi adat selalu menjadi hal yang menakutkan di ketiga novel tersebut karena keputusan institusi adat sangat kuat dan harus dijalankan.

Masyarakat Minangkabau sendiri merupakan suku bangsa terbesar yang menganut sistem kekerabatan matrilineal sehingga perempuan-perempuan Minangkabau memiliki status istimewa sebagai pemegang garis keturunan, pemilik harta warisan leluhur, dan rumah gadang (rumah besar - rumah adat). 

Namun, Hamka mencitrakan perempuan Minangkabau sebagai Perempuan yang lemah dan hampa, yang tidak bisa mempertahankan argumen dan keputusannya sendiri.

"Walaupun pada dasarnya hal ini kontradiktif dengan nilai dan norma bagaimana kedudukan perempuan di Minangkabau, namun Hamka konsisten menempatkan perempuan Minangkabau sebagai tokoh yang paling dirugikan."

Buya Hamka (wikipedia)

Jonson menyebut bahwa puncaknya tepat pada tahun 1946 ketika Hamka menerbitkan buku Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.

Hamka menulis kritik dengan lantang dan menuntut adat harusnya berubah hingga menggegerkan alam Minangkabau. Ia mengemukakan bahwa dalam tatanan susunan masyarakat Minangkabau, laki-laki takluk pada kaum ibu (perempuan), meskipun laki-laki tersebut berusaha, berladang dan bersawah, hasilnya itu semua bukanlah untuk anaknya, tetapi untuk keponakannya.

Ketika berada di rumah istri dan anaknya (perempuan), seorang laki-laki menjadi menantu yang menumpang sementara di rumah istrinya, jadi semua harta adalah milik istri.

Suami sama sekali tidak boleh campur tangan di dalam rumah istri dan anaknya. Kadang-kadang, apabila anak kandungnya sendiri yang akan menikah, yang mengawinkannya adalah paman (mamak), ayahnya cukup hanya diberi tahu saja dan tidak boleh membantah.

"Hamka juga mengemukakan bahwa menjadi laki-laki di Minangkabau sangat sedih hidupnya karena punya tempat tinggal tetap," ungkap Jonson.

Saat masih kecil, laki-laki Minangkabau hanya tinggal sebentar dengan ibunya, yaitu sampai enam tahun saja. Setelah itu dia harus tidur di surau bersama teman-temannya sambil belajar Alquran karena malu benar rasanya apabila sudah besar tapi tetap tinggal di rumah.

Baca Juga: Lima Peraih CHI Awards 2023: Empu Tari Bali hingga Presiden Pertama RI

Setelah dewasa, ia akan menikah dan tinggal di tempat keluarga istrinya tanpa memiliki kuasa di rumah tersebut. Apabila bercerai, suami itulah yang harus membawa barang-barang dan keluar dari rumah.

Laki-laki yang tidak punya istri dianggap hina karena harus kembali tinggal dan menetap di surau, harus menunggu istri lagi untuk bisa tinggal di rumah. Laki-laki yang sudah bercerai akan sangat merasa malu apabila tinggal dan menetap di rumah ibu atau saudara perempuannya.

"Beberapa pernyataan Hamka pada waktu itu mendapatkan reaksi yang keras dari berbagai kalangan, namun apa yang diperjuangkan Hamka dulu, saat ini sangat relevan," ungkap Jonson.

Adat saat ini lebih fleksibel dari sebelumnya, mamak merupakan pusat dan inti dari sistem kekerabatan matrilineal dan rumah gadang sebagai basis tempat tinggal anggota keluarga secara luas.

Di dalam rumah gadang inilah eksistensi mamak akan diakui oleh semua anggota keluarga. Seorang mamak mempunyai tanggung jawab sebagai pemelihara dan pemberi kesejahteraan kepada anggota rumah gadang tersebut.

Semua aktivitas yang berhubungan dengan rumah gadang akan selalu melibatkan mamak. Namun, peranan dan wewenang mamak dalam sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau ini telah mengalami pergeseran

Seiring dengan berjalannya waktu peran ayah benar-benar utuh dan relasi paman dengan keponakan pada saat ini lebih mengarah ke relasi kasih sayang dan penghormatan.

Dalam novel-novelnya, Hamka konsisten menempatkan outsider sebagai protagonis, di mana pada awalnya para outsider (orang luar) seperti Zainuddin, Hamid, dan Poniem mengalami kesedihan yang sangat mendalam selama konflik terjadi.

Meski begitu di akhir cerita, merekalah peran dan tokoh yang paling bersahaja dan beruntung, outsiders di ketiga novel tersebut diakhiri dengan cerita happy ending.

Zainuddin sukses dengan karya bukunya, Poniem menikah lagi dengan lelaki yang mencintainya dan bisnisnya berjalan lancar, dan akhirnya Hamid bisa sampai ke Kota Mekkah.

Hal itu menunjukkan pandangan progresif Hamka bahwa keterbukaan terhadap pengaruh luar dan kemampuan untuk beradaptasi adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

"Buya Hamka menunjukkan bahwa adat masih memiliki nilai yang penting, asalkan mampu beradaptasi dan berkembang seiring dengan perubahan zaman," tegas Jonson.

Baca Juga: Tan Malaka, Bangsawan dari Tanah Minang yang 'Bunuh Diri Kelas'