Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan terkejut saat menemukan kota metropolitan dari Abad Pertengahan di atas pegunungan. Kota tersebut memberikan wawasan baru tentang kehidupan di sepanjang rute perdagangan kuno Jalur Sutra.
Para peneliti telah menemukan sisa-sisa kota dari Abad Pertengahan yang terletak di atas Jalur Sutra kuno. Kota tersebut terletak di pegunungan terjal di sebelah tenggara Uzbekistan. Salah satunya adalah kota metropolitan yang luas dan berada di dataran tinggi yang tersembunyi selama berabad-abad. Tidak banyak yang menduga jika di tempat tersebut dapat ditemukan tanda-tanda peradaban kuno.
Penemuan tersebut dimungkinkan oleh teknologi LiDAR berbasis drone. Penelitian inovatif tersebut dipimpin oleh Penjelajah National Geographic Michael Frachetti dan Farhod Maksudov, direktur Pusat Arkeologi Nasional Uzbekistan.
Tim berhasil mengungkap kota yang ramai yang berkembang antara abad ke-6 dan ke-11. Terletak di ketinggian 2.195 mdpl (setara Machu Picchu), penemuan ini menyoroti kompleksitas masyarakat Abad Pertengahan di sepanjang Jalur Sutra. Jalur Sutra merupakan jaringan luas rute perdagangan kuno yang menghubungkan Eropa dan Asia Timur.
Reruntuhan kota kuno Tugunbulak memiliki luas hampir 300 hektar. Dengan wilayah seluas itu, Tugunbulan menjadi salah satu permukiman regional terbesar pada masanya. Michael Frachetti dan timnya menerbitkan hasil penelitiannya di Nature pada Oktober 2024. Tajuknya “Large-scale medieval urbanism traced by UAV–lidar in highland Central Asia.”
“LiDAR menunjukkan kepada kami bahwa ada kota besar di sana, tersembunyi di depan mata,” kata Frachetti. “LiDAR memungkinkan kami untuk ‘mendekati’ lanskap yang luas ini dan mendapatkan detail yang menakjubkan.”
Sekitar 4,8 km jauhnya, kota yang lebih kecil dan padat bernama Tashbulak juga disurvei oleh LiDAR. Survei itu menggunakan metode penginderaan jarak jauh yang menggunakan cahaya pantulan untuk membuat peta 3 dimensi yang terperinci.
Kehidupan di atas gunung
Sulit membayangkan kota sebesar ini berkembang pesat di lingkungan yang tertutup salju dan diterpa angin. Bahkan saat ini, hanya segelintir penggembala nomaden yang berani menjelajah. Musim dingin yang panjang, tebing yang curam, dan medan yang terjal membuat pertanian skala besar hampir mustahil dilakukan. Terutama di dataran tinggi seperti itu. Semua faktor tersebut mungkin menjelaskan mengapa sebagian sejarawan dan arkeolog mengabaikan wilayah terpencil ini begitu lama.
Namun, Frachetti dan timnya meyakini pusat-pusat perkotaan dataran tinggi ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang pesat. Masyarakat di kota kuno itu mungkin memiliki cara-cara untuk bertahan hidup yang di luar dugaan para peneiti.
Baik Tashbulak maupun Tugunbulak memiliki beberapa bangunan permanen dan desain perkotaan yang canggih. Bangunan mungkin dibuat untuk memanfaatkan medan pegunungan secara maksimal.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Jadi Penghubung Asia-Eropa, Bagaimana Jalur Sutra Terbentuk?
Citra LiDAR beresolusi tinggi memberikan tampilan terperinci rumah, plaza, benteng, dan jalan. Semua itu membentuk kehidupan dan ekonomi masyarakat dataran tinggi yang terpencil.
Yang lebih besar dari keduanya, Tugunbulak, memiliki lima menara pengawas yang dihubungkan oleh tembok di sepanjang garis punggung bukit. Tugunbulak juga memiliki benteng pusat yang dilindungi oleh tembok batu tebal dan bata lumpur.
Mengapa kota kuno tersebut dibangun di tempat yang begitu tinggi?
Pusat kota besar secara historis jarang ditemukan di daerah dataran tinggi. Contoh yang paling terkenal—Machu Picchu, Cusco, dan Lhasa—sering kali dianggap sebagai pengecualian. Kota-kota kuno tersebut menjadi contoh luar biasa dari ketahanan manusia dalam kondisi ekstrem.
Namun, lokasi Tashbulak dan Tugunbulak mungkin dipilih untuk memanfaatkan angin gunung yang kuat. Angin gunung tersebut digunakan untuk menyalakan api bersuhu tinggi yang dibutuhkan untuk melebur bijih logam. Penggalian terbatas telah mengungkap apa yang tampak seperti tungku produksi. Kemungkinan itu adalah bengkel tempat para pandai besi kuno. Para pandai besi tersebut mengubah endapan besi yang kaya di wilayah itu menjadi pedang, baju zirah, atau peralatan.
“Kami perlu menyelidiki lebih lanjut. Namun kami memiliki firasat kuat bahwa sebagian besar lokasi tersebut berorientasi pada aktivitas produksi, peleburan, atau jenis piroteknologi lainnya,” kata Frachetti. “Menjelang tengah pagi, tanah memanas karena matahari. Kemudian terjadi sistem konveksi alami dengan angin kencang yang bertiup kencang ke atas lereng gunung. Haln ini menjadi kondisi yang sempurna untuk pengerjaan logam.”
Peneliti menduga perekonomian Tugunbulak didorong oleh pandai besi dan industri pengerjaan logam lainnya. Masyarakat memanfaatkan bahan-bahan di sekitar dan kedekatannya dengan Jalur Sutra.
“Besi dan baja merupakan sumber daya yang diinginkan semua orang, bersama dengan kuda dan prajurit,” kata Frachetti. “Di era ini banyak perubahan yang cepat. Semua orang membutuhkan tenaga untuk bertahan hidup. Besi dan baja menjadi ‘ladang minyak’ di abad pertengahan.”
Pendatang baru
Selama berabad-abad, para sejarawan Jalur Sutra berfokus pada suku nomaden dan kekaisaran dataran rendah yang mendominasi wilayah Uzbekistan. Mereka sering kali menggambarkan dataran tinggi sebagai daerah marjinal atau pinggiran kehidupan di lembah-lembah di bawahnya. Namun, keberadaan pusat-pusat perkotaan yang luas menunjukkan bahwa pegunungan merupakan rumah bagi masyarakatnya sendiri yang unik. Mereka memiliki ekonomi, sistem politik, dan budaya yang kompleks.
Penemuan baru ini memunculkan kemungkinan bahwa urbanisme dataran tinggi bukanlah anomali di Asia Tengah. Alih-alih anomali, urbanisme dataran tinggi menjadi bagian dari gambaran kehidupan abad pertengahan yang luas dan kompleks.
“Hal ini menempatkan entitas politik yang sangat besar di dataran tinggi. Di zona yang berada di luar wilayah pertanian normal, Anda tidak akan menduga akan menemukan kota sebesar ini,” ujar Frachetti.
Penelitian lebih lanjut akan menjelaskan lebih lanjut siapa masyarakat ini. Namun sudah jelas bahwa mereka mengembangkan cara hidup sendiri, terpisah dari masyarakat agraris khas pada zaman itu.
Penemuan ini mungkin memberikan gambaran yang sangat berbeda tentang siapa para pemain di Asia Tengah pada Abad Pertengahan.
“Jika dugaan kami benar maka kami mempunyai pendatang baru,” jelas Frachetti. “Orang-orang ini bukanlah gerombolan barbar yang berkuda seperti yang sering digambarkan dalam sejarah. Mereka adalah penduduk pegunungan, mungkin dengan sistem politik nomaden. Tapi mereka juga berinvestasi dalam infrastruktur perkotaan besar. Hal ini akan mengubah semua yang kami kira kami ketahui tentang sejarah Asia Tengah.”