Nationalgeographic.co.id - Warga adalah salah satu syarat penting bagi suatu negara. Akan tetapi, definisi warga negara bisa mencakup lebih luas dan sering diperdebatkan para ahli ilmu sosial dan politik. Konsep kewarganegaraan pun belakangan dikritik karena menggunakan pendekatan antroposentris--menjadikan manusia sebagai subjek utama.
Padahal, pelbagai kebudayaan di seluruh dunia memiliki keyakinan bahwa segala hal di dunia adalah makhluk hidup yang memiliki hak dan setara dengan manusia. Beberapa kelompok masyarakat adat bahkan menjadikan fitur dan makhluk alam tertentu sebagai bagian dari komunitasnya.
Namun, konsep negara modern cenderung dibentuk secara sekuler dengan membatasi manusia sebagai warga. Sementara, dalam pandangan modern, alam menjadi objek yang kerap dieksploitasi.
Kesadaran ekologis mendorong beberapa negara mengakui hak alam dan kewarganegaraan ekologis demi menunjang konservasi. Berikut adalah negara-negara yang mengakui hak alam dan kewarganegaraan ekologis di dunia.
1. Ekuador
Ekuador adalah negara pertama di dunia yang mengakui hak alam berdasarkan konstitusi tahun 2008. Kondisi awal yang dihadapi Ekuador adalah sistem politik yang mendorong kerusakan lingkungan dan mengancam masyarakat adat dari aktivitas ekstraktif.
Pada 2007, Rafael Correa dilantik menjadi presiden. Dalam misinya, ia menghendaki Ekuador yang terlepas dari pengaruh neoliberalisme yang mengancam kemandirian dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mewujudkan gagagasan tersebut, Presiden Majelis Mahkamah Konstitusi Alberto Acosta menjadi tokoh penting dalam upaya perubahan konstitusi.
Acosta menggarap konstitusi yang mendukung pemerbdayaan masyarakat adat dan perlidnungan lingkungan. Acosta menyerukan bahwa salah satu kunci kemandirian negara adalah dengan "mencari harmoni antara rakyat dan alam".
Konstitusi tersebut menjamin hak alam melalui pengakuan alam sebagai makhluk hidup yang diyakini masyarakat adat di Ekuador. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk melindungi alam dan lingkungan, termasuk kawasan yang dianggap sakral oleh masyarakat adat.
Negara pun mengadopsi cara pandang masyarakat adat yang biosentris, seluruh makhluk biologis sebagai subjek perlindungan negara.
Sampai saat ini, hak alam yang dilakukan Ekuador menginspirasi banyak negara di Amerika Latin melalui pengakuan dan penguatan masyarakat adat. Pendekatan ini menjadikan konservasi berbasis masyarakat pribumi dan adat yang memiliki kedekatan hubungan dengan alam.
Baca Juga: Kura-Kura Leher Ular Rote Terancam Punah, Masyarakat Jadi Kunci Konservasi
2. India
Berbeda dengan Ekuador, pengakuan warga negara ekologis di India cenderung diusung di beberapa negara bagian. Pada 2017, negara bagian Uttarakhand pernah menyatakan Sungai Gangga dan Sungai Yamuna, danau, udara, padang rumput, lembah, hutan, lahan basah, air terjun, dan gletser sebagai subjek hukum yang disebut sebagai "Ibu Pertiwi".
Fitur-fitur alam tersebut merupakan bagian taman nasional dan memiliki nilai sakral bagi penganut Hindu. Pengadilan Tinggi Uttarakhand menyebut bahwa "Ibu Pertiwi" memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan pihak manusia. Hal itu menjadikan alam harus dijaga dan dilestarikan sebagai hak dasar yang harus dipenuhi negara.
Namun, upaya ini terhenti di Mahkamah Agung karena dianggap "terlalu memaksakan". Alasan lainnya, subjek-subjek alam yang ditentukan Pengadilan Tinggi Uttarakhand mencakup luar kawasan negara bagian.
Pengadilan Tinggi Madras, negara bagian Tamil Nadu membahas pengakuan hak alam pada 2022. Pengadilan mengakui dengan landasan konstitusi India dengan menjadikan alam sebagai "Ibu Pertiwi". Pengakuan ini mengharuskan Pemerintah India dan negara bagian bertanggung jawab melindungi "Ibu Pertiwi" sebagai makhluk hidup yang memiliki entitas hukum dan subjek hukum.
Alam memang tidak bisa menyampaikan suaranya sendiri. Oleh karena itu, hukum untuk alam di Tamil Nadu menggunakan pendekatan Parens Patriae (perwakilan hukum) di dalam sidang perkara lewat masyarakat lokal. Dengan cara ini, hukum modern menyesuaikan cara pandang ekosentris yang dimiliki kelompok masyarakat yang meyakini alam sebagai makhluk sakral dan berhak dilindungi.
3. Selandia Baru
Pengakuan kewarganegaraan ekologis dan hak alam di Selandia Baru terbilang cukup unik. Sebagai Persemakmuran Inggris, Selandia Baru mengadopsi pendekatan masyarakat pribumi yang memiliki hubungan dengan alam sekitarnya. Negara ini juga mengakui pengetahuan masyarakat pribumi di dalam peraturan kewarganegaraannya melalui Perjanjian Waitangi pada 1840.
Hak pengakuan alam sebagai warga negara diterapkan kepada Sungai Whanganui lewat Undang-undang Te Awa Tupua Act pada 2017. UU ini mengakui personifikasi sungai dan hubungan spiritual yang diyakini secara metafisik oleh masyarakat pribumi sekitarnya yang memiliki kepentingan untuk menjaga sungai.
Selandia Baru juga mengakui hak alam melalui kesepakatan antara masyarakat pribumi suku Tuhoe dan pemerintah, yakni UU Te Urewara. UU itu menjami hak alam yang ada di dalam kawasan lindung Te Urewara melalui perspektif dan perwakilan komunitas Tuhoe.
Dari hasil kesepakatan itu, Te Urewara tidak lagi dikelola Departemen Konservasi Selandia Baru, melainkan Dewan Adat Te Urewara. Dengan demikian, upaya konservasi menggunakan falsafah masyarakat pribumi dengan pengelolaan yang mandiri.
Baca Juga: Narasi Sakral Masyarakat Adat, Penjaga Harapan di Tengah Kegelapan
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memiliki komunitas adat yang tidak kalah besar. Masing-masing masyarakat adat, termasuk falsafah pandangannya menyadari bahwa alam sebagai entitas yang hidup, memiliki hak, dan memiliki hubungan dengan manusia.
Ada pun komunitas lokal yang tinggal dekat tengara alam meyakini kesakralan suatu kawasan. Hal ini dapat mendukung untuk mengakui alam sebagai warga negara dan dijamin keberlangsungan hak-haknya.
Namun, masih ada jalan panjang bagi Indonesia untuk mengadopsi langkah ini, yakni dengan merobak paradigma dan logika hukumnya yang memandang alam sebagai subjek hidup. Selain itu, perlunya pengakuan kemandirian masyarakat adat dalam mengelola lingkungan sekitarnya, supaya upaya pengakuan hak-hak alam dibahas dalam pengambilan keputusan politik.