Aliran Listrik dari Panas Bumi Menghidupkan Kampung Adat Cako hingga Mano

By Utomo Priyambodo, Rabu, 27 November 2024 | 16:00 WIB
Dahulu, sebelum listrik PLN masuk ke kampung adat Mano, warga menggunakan genset berbahan bakar bensin untuk menyalakan lampu. Kini, pasokan listrik dari energi panas bumi Ulumbu, mampu menyalakan lampu dan pelantang suara yang mengiringi perayaan Congko Lokap. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.idWarga gendang atau kampung adat Cako, Lelak, dan Mano akhirnya menerima aliran listrik stabil. Ketiga kampung itu terletak di atas Pegunungan Poco Leok di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Per tanggal 20 September 2024, lampu-lampu rumah di kampung itu akhirnya bisa menyala secara stabil berkat jangkauan kabel listrik PLN. Hendrikus Epol, seorang warga Gendang Cako, menceritakan betapa suramnya masa-masa sebelum listrik masuk ke sana.

Jika hendak berkunjung ke rumah tetangga di malam hari, mereka harus menyalakan obor untuk pencahayaan. Untuk menerangi area dalam rumah, lampu minyak tanah yang biasa mereka sebut sebagai lampu pelita terpaksa jadi andalan.

“Kehidupan kami sehari-hari sebelum masuknya listrik itu: bagi yang punya uang, mereka mampu beli diesel; tapi bagi kami yang tidak mampu, kami hanya bakar pakai lampu minyak,” tutur Hendrikus saat dijumpai akhir September lalu.

Sewaktu Hendrikus kecil, api dari lampu pelita sempat menghanguskan rumah keluarganya. Kala itu, suatu malam tahun 1994, masyarakat Gendang Cako sedang mengadakan acara adat di mbaru gendang atau rumah adat mereka.

Saat sang ayah bertolak ke rumah adat, Hendrikus sedang bermain petak umpet di dalam rumah bersama dua adiknya dan seorang anak tetangga. Hendrikus yang saat itu duduk di kelas satu SD adalah yang terbesar.

“Jadi saya punya bapak ini terburu-buru ke rumah adat. Jadi lampunya dia taruh di bawah, taruh di lantai tanah. Lantai begini, nih, tanah,” tunjuk Hendrikus ke bawah seraya mengenang kejadian suatu malam tahun 1994 itu.

“Jadi saking asyiknya main, kami kejar-kejaran tidak lihat ini lampu,” ujarnya. “Kami masih kecil, main gila-gilaan. Oi, kami tidak lihat ini lampu kesenggol.”

Lampu pelita itu terguling. Minyaknya tumpah. Nyala apinya menjalar ke setiap aliran tumpahan minyak. Aliran minyak mengenai kasur kapuk. Berjodoh dengan berbagai material yang mudah terbakar, api dengan cepat berkobar, menghanguskan satu per satu bagian rumah kayu itu.

Hendrikus Epol, seorang petani di kampung adat Cako, mengenang masa-masa suram sebelum listrik PLN masuk ke kampungnya. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Hendrikus dan teman-teman sepermainannya ke luar rumah melihat kobaran api tersebut. Lidah api menari-nari. Mereka justru kegirangan melihat cahaya api yang terang dan besar.

“Namanya anak kecil, kami malah tepuk tangan saat api naik,” kenang Hendrikus atas peristiwa tiga dekade lalu.

Rumah keluarga Hendrikus hangus. Mereka harus mengungsi ke rumah kerabat selagi sang ayah membangun kembali rumah untuk mereka. “Jadi semenjak itu kami hidup dari nol lagi, mulai bangun pondok lagi.”

Anak-anak Hendrikus juga sempat merasakan gulita karena belum adanya listrik di rumahnya. “Kami sangat sedih kalau melihat anak lagi belajar. Di posisi depan dia itu kan harus ada lampu pelita. Setiap kali di depan, asap lampu ini kan pasti masuk ke hidung. Jadi hitam semua sekitar lubang hidungnya,” kata Hendrikus.

Kini, Hendrikus senang karena listrik telah tersedia rumahnya selama 24 jam. Ia bisa menyalakan lampu kapan saja tanpa harus membakar minyak. “Jadi kemarin kami akhirnya baru merasakan merdeka kami punya kampung,” ucapnya.

Gendang Mano di Desa Mocok, kampung adat tetangga yang lokasinya lebih tinggi dari Gendang Cako, juga baru menerima aliran listrik stabil pada 20 September lalu. Petrus Warut, salah satu tetua di Gendang Mano, mengungkapkan rasa syukurnya atas kehadiran listrik ini.

“Lampu langsung terang, tidak usah capek-capek putar [rotor generator dengan menarik tali starter],” kata Petrus di sela-sela acara perayaan adat Congko Lokap di kampung tersebut.  “Karena kami orang tua, tidak bisa putar. Capek.”

Lokasi kampung yang terpencil di atas gunung dan buruknya infrastruktur jalan menuju kampung, membuat pemerintah Indonesia kesulitan membangun tiang-tiang listrik dan menyambungkan kabel listrik ke sana. Kurangnya pasokan energi listrik di Pulau Flores, NTT, juga menjadi salah satu faktor kelangkaan listrik di sana.

Beruntung, Pulau Flores diberkahi Tuhan dengan potensi energi panas bumi yang melimpah. Sejak 2012, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang dikelola PLN telah beroperasi di Kabupaten Manggarai. Energi listrik dari PLTP Ulumbu itulah—tersambung ke dalam sistem Manggarai—yang kemudian memasok listrik ke kampung adat Cako hingga Mano.

Sebelum PLTP Ulumbu beroperasi, sistem kelistrikan di Kabupaten Manggarai masih disuplai oleh pembangkit listrik tenaga diesel. Seiring beroperasinya PLTP Ulumbu, maka bauran energi baru terbarukan di Manggarai meningkat cukup signifikan, yakni mencapai 50%.