Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024

By National Geographic Indonesia, Rabu, 27 November 2024 | 10:00 WIB
Saat pesisir utara Jawa melesap, para penghuninya berjuang untuk mempertahankan rumah mereka dan sejarah mereka dari nasib yang sama. Bertahan adalah hal yang sulit di Kabupaten Demak di Jawa Tengah. Bagi mereka yang tidak mampu membangun kembali rumah mereka, menjauhkan barang-barang dari lantai adalah cara lain untuk hidup bersama banjir parah. Mashuri, 52 tahun, adalah penggemar musik di Timbulsloko yang terkadang memberikan hiburan di acara-acara desa. Foto ini dipamerkan dalam 'Sudut Pandang Baru Peluang Bumi' yang digelar National Geographic Indonesia dan 2024 JILF x JakTent, 27 November - 1 Desember 2024 di Taman Ismail Marzuki. (Aji Styawan/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sepanjang penjelajahan selama hampir dua dekade, National Geographic Indonesia mengabarkan ragam kisah pelestarian alam dan budaya dari penjuru Nusantara. Kami senantiasa mengajak pembaca untuk lebih peduli pada Bumi, satu-satunya planet yang layak kita huni.

Ada sebuah perayaan kecil di tengah kerlip Jakarta. National Geographic Indonesia berbangga hati menggelar pameran foto dan infografis bertajuk "Sudut Pandang Baru Peluang Bumi". 

Tajuk pameran ini sekaligus menjadi pembuka tema perayaan dua dekade bingkai kuning menjelajahi Nusantara. Publik dapat menyaksikan pameran ini pada 27 November sampai 1 Desember 2024 di Galeri Emiria Soenassa dan Galeri S. Sudjojono, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Pameran ini digelar atas kolaborasi National Geographic Indonesia bersama 2024 Jakarta International Literary Festival (JILF) dan Jakarta Content Week (JakTent), yang didukung oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.

Tema pameran dari National Geographic Indonesia memiliki semangat yang sama dengan tema gelaran 2024 Jakarta International Literary Festival yang menyuarakan Words and Actions Aligned on Eco-Literature atau "Kata-kata dan Tindakan Selaras pada Sastra Ekologi".

“Kini kita terperangkap di zaman kalabendu Antroposen, sebuah era yang ditandai oleh dampak merusak manusia terhadap bumi dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Di sisi lain, kita menyaksikan bagaimana sejumlah karya sastra bermunculan menawarkan alternatif sudut pandang tentang cara ‘menciptakan’ dunia yang lebih baik di tengah situasi ini,” ujar Anton Kurnia, Direktur JILF dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. 

Salah satu anggota Kelompok Waifuna, Yolanda Kacili, melakukan penyelaman bebas dan mengambil keong lola saat pembukaan sasi di Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kelompok ini dikenal karena pengelolaan tradisional sasi laut yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga wilayah perairan mereka. Foto ini turut ditampilkan dalam pameran foto dan infografis Sudut Pandang Baru Peluang Bumi. (Garry Lotulung/National Geographic Indonesia)

Pameran menampilkan karya empat fotografer National Geographic Indonesia, baik staf maupun kontributor. Donny Fernando, staf fotografer, berkisah tentang dampak perubahan iklim di berbagai kawasan di Indonesia; Aji Styawan menceritakan tenggelamnya pesisir utara Jawa dan warga yang mencoba bertahan dan beradaptasi; Yoppy Pieter menuturkan tentang sekelompok kaum ibu penjaga kelestarian rimba di Aceh; dan Garry Lotulung mengungkap peran perempuan dalam masyarakat adat untuk konservasi pesisir Misool.

Selain memajang foto-foto yang pernah terbit di berbagai platform bingkai kuning sepanjang lima tahun terakhir, pameran juga menampilkan poster-poster infografis seri Pusparagam Kehidupan. Materi poster ini pernah terbit sebagai sisipan dari kisah feature di platform majalah.

Krisis iklim yang menjalar ke berbagai aspek kehidupan telah menjadi bagian narasi kami sepanjang satu dekade belakangan ini. Perhelatan ini juga mengajak masyarakat untuk menyadari ancaman pupusnya keanekaragaman hayati, perkara yang muncul dari dampak populasi manusia dan krisis iklim.

Para penjaga hutan Mpu Uteun mengukur keliling batang pohon dan menentukan koordinat untuk melakukan inspeksi. Mereka akan mendiskusikan data yang diperoleh selama penilaian patroli. Mereka melakukan aksi ini semata-mata untuk melindungi keanekaragaman hayati hutan lindung Damaran Baru, kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Kaum ibu ini memastikan bahwa mereka dapat terus memanfaatkan air, udara bersih, dan pasokan makanan dari hutan. Foto ini turut ditampilkan dalam pameran foto dan infografis Sudut Pandang Baru Peluang Bumi. (Yoppy Pieter /National Geographic Indonesia)

Baca Juga: JILF 2024: Kata-kata dan Tindakan Selaras pada Sastra Ekologi

 “Narasi perubahan iklim yang hari ini sering kita gaungkan sepertinya terdengar mulai usang," kata Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia. Menurutnya, sejauh ini kita kesulitan melihat perubahan signifikan dari apa yang kita perjuangkan selama. Atas alasan itulah ia menambahkan, "kita mesti lebih keras mengupayakan perubahan yang lebih membawa dampak."

"Kita membutuhkan sebuah sudut pandang baru demi menghadapi bencana lingkungan hidup," ujar Didi. "Kita perlu kembali melihat kepada hal-hal yang selama ini kuat mengakar di masyarakat kita, namun tak pernah bersanding dengan upaya perbaikan lingkungan." 

Keberadaan adat dan tradisi di kepulauan ini yang sejatinya memiliki kearifan dalam menjaga ekologi, demikian hemat Didi. "Melestarikan tradisi dan menjaga adat adalah sudut pandang kini yang harus lebih kencang kita suarakan," imbuhnya. "Mari ciptakan sudut-sudut pandang baru, Bumi membutuhkan perubahan signifkan dari kita para insannya.”

Tumpukan sampah di Dadap, Tangerang, menjadi masalah besar. Saat sampah membusuk, ia menghasilkan gas metana yang membuat bumi makin panas. Dampak pemanasannya lebih cepat dibanding gas karbon dioksida. Itulah sebabnya masalah sampah semakin memperburuk perubahan iklim. Selain masalah sampah organik, kita juga tenggelam dalam permasalahan sampah plastik. Industri plastik sangat terkait dengan rantai pasokan bahan bakar fosil, yang memperparah perubahan iklim. Foto ini turut ditampilkan dalam pameran foto dan infografis Sudut Pandang Baru Peluang Bumi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Agung Wibawanto selaku Marketing Communication Manager untuk National Geographic Indonesia, mengungkapkan bahwa melalui pameran ini National Geographic Indonesia tidak hanya menampilkan keindahan alam Nusantara, tetapi juga membawa pesan mendalam tentang tanggung jawab bersama untuk kelestarian Bumi. 

"Selama 20 tahun terakhir, kami telah berusaha menginspirasi masyarakat Indonesia untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Melalui visual yang menawan dan informatif, kami ingin mengajak para pengunjung untuk menyadari bahwa setiap langkah kecil dapat menciptakan dampak besar bagi generasi mendatang," ujar Agung. "Mari bersama-sama berkontribusi untuk masa depan Bumi yang lebih berkelanjutan."

"Sudut pandang yang kerap terlewat ketika membicarakan krisis iklim adalah peran pentingnya karbon biru, memuliakan pesisir dan lautan," ungkap Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia. "Selain itu juga gagasan kewargaan ekologis, kita menempatkan semua spesies sebagai warga negara, kita menghargai keberadaan mereka, dan bersama-sama mereka bertanggung jawab atas harmoni hidup di Bumi."

Belibis totol dan lahan gambut memiliki hubungan mutualisme. Bebek-bebek ini hidup di lahan gambut, membantu menyebarkan biji rumput, dan memberi makan ikan melalui kotorannya. Namun kini, karena perubahan iklim, lahan gambut terancam, dan jumlah bebek semakin berkurang. Foto ini turut ditampilkan dalam pameran foto dan infografis Sudut Pandang Baru Peluang Bumi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Perhelatan 2024 JILF x JakTent juga mengundang Mahandis Yoanata Thamrin, dalam diskusi panel bertajuk Sowing Hope: Making Sparks in the Dark (Menabur Harapan, Memantik Percikan dalam Kegelapan). Sebuah diskusi yang membahas bagaimana para penulis dan jurnalis menggambarkan dan menanamkan harapan dalam kondisi yang sangat kelam. Selain Mahandis, sesi diskusi ini turut dihadiri Sapariah Saturi dan Niduparas Erlang, serta dipandu oleh Evi Mariani. Diskusi digelar pada Minggu, 1 Desember 2024 pukul 15.00-16.00 WIB di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki.

"Jurnalisme adalah mendongeng dengan membawa tujuan, sehingga perlu sudut pandang baru supaya pesannya selalu aktual," ujar Mahandis. "Ketika populasi manusia telah mengubah tatanan Bumi, setidaknya kita masih memiliki satu-satunya keyakinan dan harapan: kekuatan kemanusiaan akan memulihkannya."