Pri juga merinci beberapa keunggulan energi panas bumi dibandingkan jenis energi lainnya. Bahkan panas bumi juga lebih unggul dari jenis energi baru terbarukan lainnya.
“Pasokannya stabil, tidak tergantung musim atau cuaca, ataupun siang dan malam. Sehingga bisa diandalkan sebagai pemasok beban dasar listrik,” jelas Pri. “Hal ini karena energi panas bumi berasal dari dalam bumi, di mana sumber panas bersifat stabil.”
“Yang harus dijaga adalah pengelolaannya yang harus menjamin kesetimbangan panas dan massa di dalam sistem panas bumi,” tegas Pri.
Selain pasokannya stabil, energi panas bumi juga bersifat ramah lingkungan seperti jenis energi baru terbarukan lainnya. Menurut hasil perhitungan tahun 2019 yang dikutip oleh Pri, membangkitkan listrik sebesar 2.000 MW dengan energi panas bumi berarti menyumbang pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 11,14 juta ton/tahun.
Menurut perhitungan Kagel dan Gawell (2005), jumlah emisi CO2 dari PLTP biner adalah 0, sedangkan dari PLTP flash adalah 27 kg per MWh. “Flash dan biner merujuk pada teknologi PLTP,” jelas Pri.
Adapun jumlah emisi CO2 yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis batu bara adalah 994 kg per MWH, dari pembangkit listrik berbasis minyak bumi adalah 550 kg per MWh, sedangkan dari pembangkit berbasis gas alam adalah 1.212 kg per MWh.
Jadi, dengan beralih dari energi fosil ke energi panas bumi. Indonesia bisa mengejar target Net Zero Emission 2060. Net Zero Emission atau Emisi Nol Bersih sebuah kondisi di mana emisi karbon yang dihasilkan tidak melebihi kapasitas penyerapan emisi oleh daratan dan lautan di wilayahnya.
Sejak 2014 hingga 2024, penambahan kapasitas PLTP di Indonesia telah mencapai 1,2 GW, sehingga total kapasitas terpasang PLTP menjadi 2,6 GW, atau sekitar 11% dari total potensi panas bumi nasional. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai produsen listrik panas bumi terbesar kedua di dunia.
Tambahan kapasitas ini mampu melistriki 1,3 juta rumah serta mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 17,4 juta ton CO2 per tahun. Hal ini turut mendukung upaya pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 32% atau atau 358 juta ton CO2 pada 2030.