Mengapa Energi Panas Bumi di Flores Ramah Lingkungan dan Perlu Dimanfaatkan?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 28 November 2024 | 08:00 WIB
PLTP Ulumbu beroperasi dengan memanfaatkan kekayaan energi panas bumi yang dimiliki oleh Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.idSetiap pulau memiliki potensi kekayaan alamnya masing-masing. Bagi Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur (NTT), kekayaan alam itu antara lain berupa energi panas bumi

Pada 2017, pemerintah Indonesia menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Potensi panas bumi di pulau ini cukup besar, yaitu mencapai 902 MW yang tersebar di 16 titik. Salah satu titik tersebut berada di Ulumbu, Kabupaten Manggarai.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas (PLTP) Ulumbu telah beroperasi sejak 2012. Listrik dari PLTP Ulumbu memasok listrik untuk Kabupaten Manggarai, sebagian Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Namun, masih banyak juga daerah lain di Flores, NTT, yang belum teraliri listrik.

Ferdy Hasiman, peneliti sekaligus pengamat energi dari Alpha Research Database Indonesia, mengatakan bahwa kebutuhan energi listrik di NTT adalah hal yang mendesak. “Kalau kita lihat di konstelasi pasokan suplai listrik, rata-rata NTT, bukan hanya Flores, itu sangat bergantung kepada suplai energi dari luar,” kata Ferdy saat dihubungi Oktober lalu.

Menurutnya, selama ini banyak energi listrik di Flores bersumber dari bahan bakar minyak  (BBM) dan batu bara. “Dua sumber energi itu tidak ada di Flore,” ujar Ferdy. “Jadi lapangan minyak tidak ada di sini, NTT tidak punya lapangan minyak. Kita juga tidak punya konsesi batu bara. Jadi semua diangkut dari luar.”

“Jadi kalau rasio elektrifikasi NTT selama ini rendah, itu sangat masuk akal,” imbuhnya lagi seraya menegaskan bahwa kebutuhan energi listrik di Flores sudah sangat mendesak.

Ferdy menekankan pentingnya penyediaan fasilitas publik demi memajukan pembangunan di Flores. “Selain jalan dan air, ya listrik ini salah satu paling penting,” ucapnya.

“Jadi itu makanya geotermal yang ada potensinya di Flores, itu sangat mendesak untuk dieksplorasi,” tegasnya. “Yang paling penting adalah eksplorasinya harus benar-benar memitigasi dampak lingkungan dan teknologi-teknologi yang digunakan harus bisa meminimalisir kerusakan lingkungan.”

Senada dengan Ferdy, Pri Utami juga menyatakan potensi panas bumi di Pulau Flores penting untuk dimanfaatkan. Ahli panas bumi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengatakan panas bumi merupakan sumber energi lokal asli Indonesia.

“Kita tidak perlu ‘mengimpor’ panas bumi dari tempat lain, karena memang sudah berada di bawah telapak kaki kita,” kata Pri yang kini menjabat sebagai Kepala Pusat Riset Panas Bumi di Fakultas Teknik UGM sekaligus dosen tamu di Geothermal Institute, The University of Auckland.

Seorang petani beraktivitas tidak jauh dari Kawah Ulumbu di belakangnya. Kawah panas merupakan salah satu penanda adanya potensi energi panas bumi yang terkandung di dalamnya. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Aliran Listrik dari Panas Bumi Menghidupkan Kampung Adat Cako hingga Mano

Pri juga merinci beberapa keunggulan energi panas bumi dibandingkan jenis energi lainnya. Bahkan panas bumi juga lebih unggul dari jenis energi baru terbarukan lainnya.

“Pasokannya stabil, tidak tergantung musim atau cuaca, ataupun siang dan malam. Sehingga bisa diandalkan sebagai pemasok beban dasar listrik,” jelas Pri. “Hal ini karena energi panas bumi berasal dari dalam bumi, di mana sumber panas bersifat stabil.”

“Yang harus dijaga adalah pengelolaannya yang harus menjamin kesetimbangan panas dan massa di dalam sistem panas bumi,” tegas Pri.

Selain pasokannya stabil, energi panas bumi juga bersifat ramah lingkungan seperti jenis energi baru terbarukan lainnya. Menurut hasil perhitungan tahun 2019 yang dikutip oleh Pri, membangkitkan listrik sebesar 2.000 MW dengan energi panas bumi berarti menyumbang pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 11,14 juta ton/tahun.

Menurut perhitungan Kagel dan Gawell (2005), jumlah emisi CO2 dari PLTP biner adalah 0, sedangkan dari PLTP flash adalah 27 kg per MWh. “Flash dan biner merujuk pada teknologi PLTP,” jelas Pri.

Adapun jumlah emisi CO2 yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis batu bara adalah 994 kg per MWH, dari pembangkit listrik berbasis minyak bumi adalah 550 kg per MWh, sedangkan dari pembangkit berbasis gas alam adalah 1.212 kg per MWh.

Jadi, dengan beralih dari energi fosil ke energi panas bumi. Indonesia bisa mengejar target Net Zero Emission 2060. Net Zero Emission atau Emisi Nol Bersih sebuah kondisi di mana emisi karbon yang dihasilkan tidak melebihi kapasitas penyerapan emisi oleh daratan dan lautan di wilayahnya.

Sejak 2014 hingga 2024, penambahan kapasitas PLTP di Indonesia telah mencapai 1,2 GW, sehingga total kapasitas terpasang PLTP menjadi 2,6 GW, atau sekitar 11% dari total potensi panas bumi nasional. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai produsen listrik panas bumi terbesar kedua di dunia.

Tambahan kapasitas ini mampu melistriki 1,3 juta rumah serta mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 17,4 juta ton CO2 per tahun. Hal ini turut mendukung upaya pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 32% atau atau 358 juta ton CO2 pada 2030.