Nationalgeographic.co.id—Warga gendang atau kampung adat Cako, Lelak, dan Mano akhirnya menerima aliran listrik stabil. Ketiga kampung itu terletak di atas Pegunungan Poco Leok di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Per tanggal 20 September 2024, lampu-lampu rumah di kampung itu akhirnya bisa menyala secara stabil berkat jangkauan kabel listrik PLN. Hendrikus Epol, seorang warga Gendang Cako, menceritakan betapa suramnya masa-masa sebelum listrik masuk ke sana.
Jika hendak berkunjung ke rumah tetangga di malam hari, mereka harus menyalakan obor untuk pencahayaan. Untuk menerangi area dalam rumah, lampu minyak tanah yang biasa mereka sebut sebagai lampu pelita terpaksa jadi andalan.
“Kehidupan kami sehari-hari sebelum masuknya listrik itu: bagi yang punya uang, mereka mampu beli diesel; tapi bagi kami yang tidak mampu, kami hanya bakar pakai lampu minyak,” tutur Hendrikus saat dijumpai akhir September lalu.
Sewaktu Hendrikus kecil, api dari lampu pelita sempat menghanguskan rumah keluarganya. Kala itu, suatu malam tahun 1994, masyarakat Gendang Cako sedang mengadakan acara adat di mbaru gendang atau rumah adat mereka.
Saat sang ayah bertolak ke rumah adat, Hendrikus sedang bermain petak umpet di dalam rumah bersama dua adiknya dan seorang anak tetangga. Hendrikus yang saat itu duduk di kelas satu SD adalah yang terbesar.
“Jadi saya punya bapak ini terburu-buru ke rumah adat. Jadi lampunya dia taruh di bawah, taruh di lantai tanah. Lantai begini, nih, tanah,” tunjuk Hendrikus ke bawah seraya mengenang kejadian suatu malam tahun 1994 itu.
“Jadi saking asyiknya main, kami kejar-kejaran tidak lihat ini lampu,” ujarnya. “Kami masih kecil, main gila-gilaan. Oi, kami tidak lihat ini lampu kesenggol.”
Lampu pelita itu terguling. Minyaknya tumpah. Nyala apinya menjalar ke setiap aliran tumpahan minyak. Aliran minyak mengenai kasur kapuk. Berjodoh dengan berbagai material yang mudah terbakar, api dengan cepat berkobar, menghanguskan satu per satu bagian rumah kayu itu.
Hendrikus dan teman-teman sepermainannya ke luar rumah melihat kobaran api tersebut. Lidah api menari-nari. Mereka justru kegirangan melihat cahaya api yang terang dan besar.
“Namanya anak kecil, kami malah tepuk tangan saat api naik,” kenang Hendrikus atas peristiwa tiga dekade lalu.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR