Dampak negatif tindakan manusia terhadap alam
"Beberapa tahun lalu, saya diberi hadiah sebuah buku yang begitu memikat sehingga saya membacanya tiga kali dan merekomendasikannya kepada semua orang yang saya kenal," lanjut Wiza.
Buku yang dimaksud adalah "The Invention of Nature" karya Andrea Wulf, sebuah kisah yang menghidupkan kembali sosok Alexander von Humboldt, seorang ilmuwan abad ke-19 yang visioner dan revolusioner.
Humboldt, seorang polymath sejati, tidak membatasi dirinya pada satu disiplin ilmu. Ia menjelajahi berbagai bidang, dari biologi hingga geologi, dan menciptakan pemahaman holistik tentang alam semesta.
Melalui ekspedisinya yang berani dan pengamatan yang cermat, Humboldt mengajarkan kita bahwa alam adalah sebuah sistem yang saling terhubung, di mana setiap elemen memiliki peran yang penting.
"Humboldt adalah seorang ahli biologi, fisikawan, ahli ekologi, ekonom, dan segala macam ilmu lainnya," lanjut Wiza. "Keingintahuannya mendorongnya untuk menciptakan artikulasi ilmiah awal tentang alam, mengembangkan teori tentang jaring kehidupan, dan mengakui dampak negatif tindakan manusia terhadap alam dan masyarakat adat."
Ide-ide Humboldt yang radikal untuk masanya, seperti konsep tentang perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan pentingnya melindungi keanekaragaman hayati, masih sangat relevan hingga kini. Namun, ironisnya, meskipun kita telah belajar banyak dari Humboldt dan para ilmuwan lainnya, krisis iklim semakin memburuk.
"Ide-ide Humboldt mungkin telah membentuk dasar lingkungan modern dan memulai percakapan tentang eko-sastra, tetapi 90% dari upaya untuk melindungi planet ini dan setiap ekosistem di dalamnya sebenarnya berurusan dengan satu spesies tunggal: Homo sapiens," tegas Wiza.
Fokus utama upaya konservasi memang pada manusia. Kita berupaya memahami perilaku kita, dampak kita terhadap lingkungan, dan bagaimana kita dapat hidup berdampingan dengan alam secara harmonis. Namun, upaya ini belum cukup.
29 tahun dan selalu gagal
"Para pemimpin dunia baru saja menyelesaikan UNFCCC COP ke-29 di Baku, Azerbaijan," lanjut Wiza. "Negara-negara berkembang, negara-negara kepulauan kecil, aktivis, dan masyarakat adat menangis kesakitan karena betapa tidak menghormati dan tidak adilnya negosiasi ini."
Baca Juga: 2024 JILF x JakTent: Sarana Menggarap Isu-isu Sastra Mutakhir