COP29, konferensi iklim terbaru, sekali lagi gagal menghasilkan kesepakatan yang ambisius untuk mengatasi krisis iklim. Padahal, para ilmuwan telah memberikan peringatan yang jelas dan tegas tentang bahaya pemanasan global.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan PBB yang bertugas mengevaluasi risiko perubahan iklim, telah dibentuk sejak tahun 1988 dan sejak saat itu telah menerbitkan banyak laporan yang memperingatkan tentang konsekuensi dari pembiaran emisi gas rumah kaca terus meningkat.
IPCC sendiri sudah dibentuk pada tahun 1988 dan COP pertama tentang iklim diadakan pada tahun 1995, 29 tahun yang lalu. Berarti, menurut Wiza, kita telah melakukan percakapan ini selama 29 tahun, dan setiap COP dipenuhi dengan begitu banyak harapan untuk kemajuan.
"Sayangnya, setiap tahun dekade ini juga menandai tahun terpanas dalam catatan sejarah, dan krisis ini menyakiti yang paling miskin dan lemah di antara kita," ungkap Wiza dengan nada kecewa.

Garis lurus antara eksploitasi kolonial dan krisis iklim
Sulung dari lima bersaudara tersebut kemudian bergeser ke buku selanjutnya, yaitu novel "The Nutmeg's Curse," karya Amitav Ghosh. Dalam novel tersebut, jelas Wiza, Ghosh menarik garis lurus antara eksploitasi kolonial dan krisis iklim saat ini.
Keduanya, menurut Ghosh, adalah produk dari sistem yang sama: sebuah sistem yang menempatkan keuntungan ekonomi di atas segala hal, termasuk keseimbangan ekosistem dan hak-hak masyarakat adat.
Kolonialisme, dengan model ekstraksi sumber daya yang tak terkendali, telah meninggalkan bekas luka mendalam pada planet kita. Hutan ditebang, tanah digunduli, dan sungai tercemar. Akibatnya, keanekaragaman hayati menurun drastis, dan pola cuaca menjadi tak terprediksi.
Wiza menilai pola historis ekstraksi sumber daya dan kerusakan lingkungan melalui kolonialisme ini terkait langsung dengan krisis iklim saat ini. Sebab, keduanya membentuk sistem dinamika kekuasaan global yang didasari oleh eksploitasi serta pengabaian terhadap konsekuensi ekologis.
"Tetapi planet ini tidak sepenuhnya tidak berdaya," papar Wiza. Baginya, planet adalah entitas yang hidup dan esensial, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bertindak, yang dapat termanifestasi baik secara langsung melalui bentuk individu atau melalui fenomena seismologis seperti letusan gunung berapi atau gempa bumi.
Baca Juga: JILF 2024: Kata-kata dan Tindakan Selaras pada Sastra Ekologi