Beban ekonomi yang mereka rasakan adalah dampak dari krisis iklim. Sang kepala rumah tangga bekerja sebagai nelayan, yang awalnya mencari udang di perairan pesisir, kini ia harus mencari udang di perairan yang semakin menjauh. Kian sulitnya mencari udang, sulit pula pendapatan yang mereka terima setiap harinya. Pendapatan ini berkurang akibat dari perubahan suhu air bahkan limbah yang dibuang di lautan.
Demikianlah krisis iklim telah menyebabkan terganggunya perekonomian yang berimbas pada kehidupan sosial ekonomi. Pada putaran berikutnya, krisis iklim pun memicu masalah baru seperti pernikahan usia dini.
Mereka terjebak dalam siklus kemiskinan yang tak berujung. Permasalahan itu hanya berputar pada tekanan ekonomi karena rendahnya tingkat pendidikan. Akibatnya, menimbulkan pandangan bahwa pernikahan dini adalah cara untuk mengurangi beban keluarga. Padahal, pernikahan dini justru memperkuat siklus kemiskinan, karena anak yang menikah muda cenderung putus sekolah dan memiliki akses terbatas pada pengetahuan. Alhasil, siklus permasalahan akan tetap berada di lingkaran masalah yang tidak ada solusinya.
“Semua ini (pernikahan anak) bukan cuma soal ekonomi tapi budaya juga,” kata Maria.
Maria menambahkan bahwa sebagaimana seorang perempuan dilihat sebagai sesuatu yang harus dimiliki ketika keluarganya tidak sanggup lagi, maka orang tua akan menyerahkan anak mereka pada orang lain untuk mengurusnya. Perempuan ibarat sebuah ‘barang’ yang nilainya ditentukan oleh orang lain.
Ia juga menuturkan bahwa anak perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan pengeluaran lebih rendah, tiga kali lebih mungkin mengalami pernikahan anak. Lalu, anak yang berasal dari perdesaan, dua kali lebih memungkinkan untuk melakukan pernikahan anak. Selain itu anak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya, memiliki kesempatan empat kali lebih mungkin akan menikah di bawah umur 18 tahun.
“Ketika pemerintah membuat kebijakan dan aksi nasional untuk hal ini, pemerintah daerah juga harus turut melaksanakan aksi tersebut,” ujar Maria. Pernikahan anak pada usia dini menjadi tanggung jawab banyak orang, bukan hanya orang tua. Peran masyarakatnya juga diperlukan untuk menjamin akuntabilitas dari pemerintah ketika penerapan kebijakan sebagai upaya mengurangi pernikahan anak.
Apabila kita menyaksikan secara luas berdasarkan perkembangan teknologi, sejatinya media juga berperan dalam aksi ini. Media bisa mengangka isu dan meyiarkan upaya memberantas pernikahan di usia dini. Pun semua lapisan masyarakat dapat ikut menyebarkan dan saling mengedukasi.
Kerja sama beragam pihak, apabila ini dilakukan secara nyata dan serius—dapat membawa perubahan yang signifikan dalam mengurangi angka pernikahan anak. Media dapat memberikan sudut pandang yang lebih mendalam sehingga mendorong masyarakat untuk ikut terlibat dalam upaya pemberantasan pernikahan anak.
Salah satu hal yang bisa dilakukan seorang anak saat ‘terjebak’ dalam pernikahan ialah ketika sang anak memiliki mimpi dalam hidupnya. Keinginan yang besar untuk mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik. Namun, hal tersebut hanya terdengar mudah ketika dikatakan orang. Semua kembali kepada individunya.
“Ketika melihat orang tuanya yang juga menikah muda, sang anak akan berpikir bahwa ‘ya udah nasib saya kayak gini-gini aja, enggak akan berubah’. Nah, hal ini yang meruntuhkan keinginan sang anak,” tutur Maria di akhir diskusi.
Diskusi ini sejatinya mengajak kita untuk memutus rantai dan stigma bahwa anak-anak dan perempuan adalah korban. Krisis iklim merupakan ancaman nyata bagi kita, begitu dekat dengan keseharian masyarakat. Upaya mitigasi dan adaptasi menjadi kunci solusinya, salah satunya memutus lingkaran kemiskinan tak berujung itu.