Pernikahan Anak-Anak di Pesisir Jakarta: Siklus Kemiskinan yang Tak Berujung

By Neza Puspita Sari Rusdi, Selasa, 3 Desember 2024 | 18:15 WIB
Suasana pantai Cilincing di sore hari. Salah satu masalah yang dihadapi di pesisir utara Jakarta ialah pernikahan anak-anak. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia )

Nationalgeographic.co.id—Ketika mendengar “Jakarta”, apa yang ada dipikiran kita? Gedung-gedung pencakar langit? Kemacetan yang tidak kunjung usai? Atau kota yang tidak pernah sepi? Semuai itu tidak salah. Namun, boleh jadi kita hanya melihat dari satu sisi.

Jakarta memiliki wilayah pesisir di bagian utaranya. Kota ini berpenduduk lebih dari sebelas juta jiwa yang menjadikan pesisirnya sebagai salah satu pemukiman padat. Permasalahan di pesisir seringkali hanya berfokus pada masalah iklim dan lingkungan. Padahal, ada masalah krusial lainnya yang nyaris tak terungkap yakni sisi kehidupan kemanusiaan.

JILF x JakTent menggelar diskusi tentang film pendek, “Why Do Child Marriage Persist on Jakarta’s Coast?” dalam acara di Taman Ismail Marzuki pada akhir November silam. Perhelatan ini mengajak peserta untuk berdiskusi mengenai masalah pernikahan anak di pesisir utara Jakarta. Narasumbernya: Lusia Arumingtyas selaku Jurnalis Mongabay Indonesia, Maria Soumokil selaku Direktur Ipas Indonesia, dan Rizky Maulana Yanuar sebagai sutradara film “Why Do Child Marriage Persist on Jakarta’s Coast”.

"Mungkin setelah menonton film ini teman-teman akan berpikir 'Oh Jakarta kayak gitu ya'," kata Lusia. "Untuk banyak orang mungkin gak akan tau kalau Jakarta itu sesuram itu, apalagi di wilayah pesisir."

Salah satu penyebab terjadinya permasalahan ini tentu saja karena faktor ekonomi. Beban ekonomi dan beban sosial yang ditanggung setiap keluarga telah mendorong para orang tua untuk mengabaikan anak-anaknya.

Anak-anak yang diabaikan ini akan memilih untuk keluar dari sekolah. Mereka adalah anak nelayan yang merasa bahwa orang tuanya tidak membutuhkan sekolah untuk mendapatkan uang. Krisis ekonomi di wilayah pesisir ini menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai korban.

“Berapa bulan setelah lulus SD, tiba-tiba saya disuruh menikah. Mama saya nyuruh ‘udah nikah aja’ gitu,” ucap Siti, salah satu tokoh dalam film itu.

Film pendek ini menampilkan dua perempuan muda bernama Siti dan Azizah yang tinggal di Cilincing, Jakarta Utara. Keduanya sudah menikah pada usia dini dengan lelaki setempat. Ibunda dari kedua anak itu mengatakan bahwa mereka menikah muda supaya tidak menjadi beban bagi dirinya.

Siti menikah muda karena dorongan orang tuanya, sedangkan adiknya, Azizah, menikah pada usia 17 tahun karena pilihannya sendiri. Azizah berpikir bahwa menikah muda terlihat menyenangkan sekaligus meringankan beban orang tuanya. Namun, belakangan ia menyadari bahwa menikah dini bukanlah solusi tetapi justru masalah baru dalam kehidupannya.

Mengentaskan kemiskinan melalui pernikahan? Pada kenyataanya, pernikahan dini  justru memperparah kondisi ekonomi keluarga. Apalagi pasangan muda yang belum siap secara mental dan finansial untuk membanguun rumah tangga.

Baca Juga: Tanah Jakarta Turun Empat Meter dalam 40 Tahun, Apa Penyebabnya?

“Dinikahkan di usia muda ini menjadi sesuatu yang bisa dibilang generational trauma,” tutur Rizky. Ia menambahkan pernikahan anak seolah telah menjadi coping mechanism—atau mekanisme penanggulangan—bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir Jakarta dalam menghadapi kesulitan ekonomi. Situasi ini semacam upaya yang dilakukan ketika seseorang berada dalam situasi sulit, dalam hal ini tekanan ekonomi. Menganggap pernikahan dini sebagai solusi sementara dari masalah mereka.

Beban ekonomi yang mereka rasakan adalah dampak dari krisis iklim. Sang kepala rumah tangga bekerja sebagai nelayan, yang awalnya mencari udang di perairan pesisir, kini ia harus mencari udang di perairan yang semakin menjauh. Kian sulitnya mencari udang, sulit pula pendapatan yang mereka terima setiap harinya. Pendapatan ini berkurang akibat dari perubahan suhu air bahkan limbah yang dibuang di lautan.

Demikianlah krisis iklim telah menyebabkan terganggunya perekonomian yang berimbas pada kehidupan sosial ekonomi. Pada putaran berikutnya, krisis iklim pun memicu masalah baru seperti pernikahan usia dini.

Mereka terjebak dalam siklus kemiskinan yang tak berujung. Permasalahan itu hanya berputar pada tekanan ekonomi karena rendahnya tingkat pendidikan. Akibatnya, menimbulkan pandangan bahwa pernikahan dini adalah cara untuk mengurangi beban keluarga. Padahal, pernikahan dini justru memperkuat siklus kemiskinan, karena anak yang menikah muda cenderung putus sekolah dan memiliki akses terbatas pada pengetahuan. Alhasil, siklus permasalahan akan tetap berada di lingkaran masalah yang tidak ada solusinya.

“Semua ini (pernikahan anak) bukan cuma soal ekonomi tapi budaya juga,” kata Maria.

Maria menambahkan bahwa sebagaimana seorang perempuan dilihat sebagai sesuatu yang harus dimiliki ketika keluarganya tidak sanggup lagi, maka orang tua akan menyerahkan anak mereka pada orang lain untuk mengurusnya. Perempuan ibarat sebuah ‘barang’ yang nilainya ditentukan oleh orang lain.

Ia juga menuturkan bahwa anak perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan pengeluaran lebih rendah, tiga kali lebih mungkin mengalami pernikahan anak. Lalu, anak yang berasal dari perdesaan, dua kali lebih memungkinkan untuk melakukan pernikahan anak. Selain itu anak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya, memiliki kesempatan empat kali lebih mungkin akan menikah di bawah umur 18 tahun.

“Ketika pemerintah membuat kebijakan dan aksi nasional untuk hal ini, pemerintah daerah juga harus turut melaksanakan aksi tersebut,” ujar Maria. Pernikahan anak pada usia dini menjadi tanggung jawab banyak orang, bukan hanya orang tua. Peran masyarakatnya juga diperlukan untuk menjamin akuntabilitas dari pemerintah ketika penerapan kebijakan sebagai upaya mengurangi pernikahan anak.

Apabila kita menyaksikan secara luas berdasarkan perkembangan teknologi, sejatinya media juga berperan dalam aksi ini. Media bisa mengangka isu dan meyiarkan upaya memberantas pernikahan di usia dini. Pun semua lapisan masyarakat dapat ikut menyebarkan dan saling mengedukasi.

Kerja sama beragam pihak, apabila ini dilakukan secara nyata dan serius—dapat membawa perubahan yang signifikan dalam mengurangi angka pernikahan anak. Media dapat memberikan sudut pandang yang lebih mendalam sehingga mendorong masyarakat untuk ikut terlibat dalam upaya pemberantasan pernikahan anak.

Salah satu hal yang bisa dilakukan seorang anak saat ‘terjebak’ dalam pernikahan ialah ketika sang anak memiliki mimpi dalam hidupnya. Keinginan yang besar untuk mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik. Namun, hal tersebut hanya terdengar mudah ketika dikatakan orang. Semua kembali kepada individunya.

“Ketika melihat orang tuanya yang juga menikah muda, sang anak akan berpikir bahwa ‘ya udah nasib saya kayak gini-gini aja, enggak akan berubah’. Nah, hal ini yang meruntuhkan keinginan sang anak,” tutur Maria di akhir diskusi.

Diskusi ini sejatinya mengajak kita untuk memutus rantai dan stigma bahwa anak-anak dan perempuan adalah korban. Krisis iklim merupakan ancaman nyata bagi kita, begitu dekat dengan keseharian masyarakat. Upaya mitigasi dan adaptasi menjadi kunci solusinya, salah satunya memutus lingkaran kemiskinan tak berujung itu.