Hal Terburuk dari Menjadi Miskin: Cara Anda Diperlakukan Orang Lain

By Utomo Priyambodo, Rabu, 4 Desember 2024 | 18:00 WIB
Seorang pedagang asongan sedang menawarkan dagangannya di tengah kemacetan Jakarta. Apa hal terburuk dari menjadi orang miskin? (Yudha P Sunandar/Flickr)

Nationalgeographic.co.idPenghinaan dan perkataan kasar Miftah Maulana terhadap seorang penjual es teh telah menjadi perbincangan hangat publik Indonesia. Pria yang menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan itu kini telah meminta maaf kepada penjual es teh tersebut usai ditegur pihak istana.

Di negara mana pun, menjadi orang miskin memang rentan untuk direndahkan dan diolok-olok. Ian Welsh pernah menulis sebuah artikel untuk HuffPost mengenai nasib buruk orang miskin yang selalu direndahkan oleh orang lain.

"Tidak ada aturan yang lebih tegas bahwa semakin sedikit gaji Anda, semakin buruk Anda akan diperlakukan," tulis Welsh. "Pelayan toko memperlakukan Anda lebih buruk. Birokrat pemerintah sering kali tidak dapat menyembunyikan penghinaan mereka."

The Washington Post juga pernah membahas tentang betapa mahalnya menjadi orang miskin -- bagaimana orang miskin dipaksa membayar lebih banyak, bukan lebih sedikit, untuk hampir semua hal. Jika tidak dalam bentuk uang, maka dalam bentuk waktu.

"Seorang teman saya mengatakannya dengan sangat sederhana. Orang miskin menghabiskan waktu untuk menabung. Orang kaya menghabiskan uang untuk menghemat waktu. Begitulah cara Anda mengetahui di mana Anda berada, dengan asumsi Anda tidak hidup di luar kemampuan Anda," jelas Welsh lagi.

Menurut Welsh, jika Anda terlihat miskin, dan jika Anda miskin cukup lama, Anda akan diperlakukan lebih buruk oleh hampir semua orang. Mereka tahu Anda tidak punya uang, tahu Anda tidak punya kekuasaan, dan dengan demikian tahu mereka dapat menekan Anda, tidak menghormati Anda, atau mengabaikan Anda.

Para pedagang kaki lima berdagang di pinggir jalan Jakarta. Hal terburuk menjadi miskin adalah bagaimana mereka diperlakukan oleh orang-orang lain, terutama oleh orang-orang merasa punya status sosial dan ekonomi lebih tinggi dari mereka. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

"Kisah favorit saya sepanjang cerita ini adalah ketika saya hampir tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan pekerjaan serabutan membantu orang pindahan, membersihkan halaman, dan mengecat rumah," kenang Welsh.

"Suatu hari setelah mengecat garasi, saya masuk ke bank dengan cek dari hasil kerja hari itu (ini terjadi pada tahun delapan puluhan). Saya acak-acakan, berlumuran cat kering, dan tampak mengerikan. Teller ingin menahan cek itu selama dua minggu. Saya tidak bisa menunggu selama itu, saya butuh uang untuk membayar sewa. Saya keluar dari bank."

Welsh kemudian kembali ke rumah kos tempatnya tinggal. Dia mandi, bercukur, dan menyisir rambut. "Kemudian saya mencari pakaian bagus terakhir saya -- flanel abu-abu, kemeja, blazer, dasi. Saya kenakan semuanya, dan saya kembali ke bank," tulisnya.

"Tidak seperti banyak orang miskin, saya tidak selalu miskin. Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta paling elite di Kanada (peringkat kedua saat itu, setelah Upper Canada College). Saya mengantre, dan ironisnya, teller saya sama saja. Dia mencairkan ceknya."

Baca Juga: Mengapa Seseorang Bisa Kecanduan Kekuasaan dan Tak Punya Malu?