Nationalgeographic.co.id—Sejatinya, masalah pangan di Indonesia sudah menjadi isu nasional. Masalah yang melanda hampir seluruh pelosok dan wilayah Indonesia ini disebabkan oleh beragam aspek, yang mengancam ketahanan pangan nasional dan berpotensi memicu munculnya masalah sosial lain.
Di Indonesia, jumlah penduduk pada tahun 2024 sudah mencapai 284 juta jiwa. PBB membuat proyeksi pertumbuhan penduduk di Indonesia dan memperkirakan kenaikan jumlah populasi penduduk sebanyak 337 juta jiwa pada tahun 2067. Dengan jumlah penduduk yang kian meningkat tiap tahunnya, artinya permintaan akan pangan pun bertambah.
Padahal jumlah hasil dari pertanian sebagai subsektor pangan Indonesia saat ini justru dalam kondisi sebaliknya. Melansir laman Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah produksi padi pada tahun 2024 turun sebanyak 1,32 juta ton (dalam bentuk gabah kering giling) dari tahun 2023.
Dengan begtiu masalah ketahanan pangan menjadi isu penting yang harus ditemukan solusinya.
Apabila melihat luasnya wilayah Indonesia, mungkin Anda akan berpikir, masalah pangan tidak akan terjadi apabila adanya optimalisasi dalam penggunaan lahan untuk kebutuhan rakyat.
Pada kenyataannya, optimalisasi penggunaan lahan dan pertanian pangan lokal tidak berjalan semulus itu. Ada banyak kendala yang dihadapi, bahkan sebenarnya Anda juga turut berperan dalam hal ini.
Pentingnya pangan lokal dibanding impor pangan luar
Menjadikan pangan lokal sebagai sumber utama bahan pokok di dalam negara, dalam hal ini Indonesia, memberikan keuntungan baik dari aspek ekonomi dan lainnya. Namun, perlu diingat bahwa tentang padi. biji-bijian, umbi-umbian, rempah-rempahan, sayur-mayur, buah-buahan bahkan protein hewani juga termasuk pangan lokal.
Jika pemahaman ini dicerna dengan baik, Indonesia dengan segala kekayaan sumber daya alamnya menyediakan segala kebutuhan penduduknya. Hanya saja, pengelola dan pengolahannya belum cukup memenuhi kebutuhan masyarakatnya sendiri.
Dengan jumlah luas wilayah daratan hampir mencapai 2 juta kilometer persegi yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia memiliki beragam tumbuhan lokal yang berbeda tiap daerahnya.
Baca Juga: Ahli Budaya dan Ahli Gizi Ungkap Pentingnya Kearifan Pangan Lokal
Misalnya masyarakat Flores yang menjadikan sorgum sebagai salah satu kebutuhan pangan utama pengganti beras. Fotina Meo dan Frans Bapa Tokan menyajikan hasil kajiannya dalam Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Nusantara (JPkMN) volume 4 pada tahun 2023.
Kajian bertajuk, “Pemanfaatan Sorgum dalam Menunjang Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Lamabelawa Kabupaten Flores Timur” menyebutkan bahwa wilayah di Flores Timur mengandalkan sepenuhnya pada produksi pangan lokal.
Komoditas utama yang diproduksi oleh masyarakat setempat yakni jagung, padi, kacang hijau, kacang tanah, ubi kayu, dan sorgum.
Fotina menyampaikan dalam jurnalnya bahwa sorgum dapat menjadi alternatif pengganti beras. Sorgum adalah tanaman sereal yang kaya akan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.
Tanaman ini cocok untuk wilayah tropis seperti Flores Timur. Tidak hanya itu sorgum juga bisa menjadi sumber pangan baru sekaligus memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat.
“Sorgum sebagai bahan pangan dengan nilai gizi tinggi menjadi penting untuk membantu pemerintah dalam mencegah peningkatan stunting di daerah pedesaan,” tulis Fotina di dalam jurnalnya.
Tidak hanya menyampaikan potensi sorgum untuk masyarakat desa. Fotina dan Frans memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang teknik penanamam yang tepat, dimulai dari pemilahan varietas sorgum yang sesuai dengan kondisi tanah dan iklim di wilayah tersebut hingga bagaimana mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman.
Masyarakat di sana paham bahwa dengan cara penanaman dan pemilihan bibit yang tepat dapat memberikan hasil pertanian yang bagus dan meningkatkan pendapatan ekonomi sehari-hari mereka juga.
Agar tidak bergantung pada satu jenis tanaman, masyarakat juga diberikan pelatihan bagaimana mengelola hasil sorgum menjadi bahan pangan lain seperti tepung, kue, roti, dan bahan olahan lainnya.
Tanaman sorgum merupakan tanaman yang dapat bertahan di masa kekeringan dan suhu tinggi sehingga sesuai menjadi pangan alternatif untuk menghadapi perubahan iklim.
Baca Juga: Merumuskan Strategi Inovasi Pemanfaatan Sagu di Indonesia Timur
“Pemanfaatan sorgum sebagai tanaman pangan yang tahan iklim dan memberikan dampak positif dalam mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim,” jelas Fortina.
Ia menambahkan, pemaanfaatan sorgum juga dapat membantu mengurangi konsumsi pangan yang tidak ramah lingkungan seperi gandum atau jagung, artinya dengan penggunaan sorgum juga berkontribusi dalam keberlanjutan lingkungan.
Memanfaatkan pangan lokal untuk kebutuhan utama bisa menggantikan ketergantungan terhadap pangan impor. Ketergantungan dan persepsi masyarakat bahwa beras adalah satu-satunya sumber utama pangan lokal adalah salah besar.
Hal tersebut membuat Indonesia mengimpor beras dari luar negeri, dengan jumlah impor sebesar 3,48 juta ton beras sepanjang tahun 2024, sudah menjadi ‘lampu merah’ bagi ketahanan pangan di Indonesia sendiri.
Selain dengan pemanfaatan pangan lokal seperti sorgum di daerah Flores Timur, diversifikasi bahan pangan menjadi salah satu langkah untuk mencapai ketahanan pangan.
Salah satu penelitian dengan judul, “Produksi Nasi Instan Berbasis Diversifikasi Pangan Lokal Ubi Ungu sebagai Pangan Darurat Fungsional” memberikan hasil bahwa ubi ungu yang merupakan pangan lokal dapat diversifikasi menjadi nasi instan.
Penelitian yang terbit di Journal of Food and Culinary ditulis oleh Erwin Setiawan dan kawan-kawan menyampaikan bahwa pengolahan ubi ungu selama ini sangat terbatas dan kurang bervariasi.
Padahal ubi ungu mengandung karbohidrat sebanyak 28 gram dengan umur simpan yang panjang, ubi ungu mempunyai potensi besar sebagai alternatif pengganti beras.
“Apabila mengonsumsi 100 gram ubi ungu artinya sudah memenuhi 8 persen angka kebutuhan akan konsumsi serat,” ujar Erwin.
Ubi ungu memiliki banyak kandungan zat gizi, salah satunya serat pangan. Melansir laman World Health Organization (WHO), ubi ungu mengandung serat pangan sebanyak 3 persen dari keseluruhan kandungan di dalam ubi ungu.
Ubi ungu juga memiliki kandungan zat amilosa, yang mana juga sama dengan kandungan pada beras padi.
“Kandungan amilosa pada beras akan berpengaruh pada kelengketan dan keperaan nasi yang dihasilkan. Semakin tinggi kandungan amilosa maka akan semakin pera nasi yang dihasilkan,” terang Erwin.
Adapun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi amilosa pada beras dari ubi ungu sebesar 10 hingga 20 persen sedangkan tingkat amilosa pada beras padi umumnya 20 persen. Artinya, beras ubi ungu memiliki kadar yang hampir setara dengan beras padi.
Apabila melihat studi-studi yang dilakukan, pangan lokal Indonesia tidak kalah dalam hal kandungan gizi dan bahkan lebih baik dari pangan impor. Hanya penelitian dan pengelolaan untuk mengoptimalkan manfaatnya yang perlu diperhatikan.