Nationalgeographic.co.id—Di London pramodern, penerangan jalan masih belum merata. Begitu kegelapan mulai datang, sulit untuk berjalan di jalan-jalan yang masih sepi. Namun, ada solusi bagi mereka yang harus berjalan setelah gelap.
Seperti kita memanggil taksi, penduduk London abad pertengahan dapat memanggil pembawa obor. Disebut link-boy, anak laki-laki membawa obor untuk menerangi jalan sang penyewa setelah menghabiskan malam di kota.
Selama era Victoria, London menjadi rumah bagi komunitas “lampu berjalan” yang disewa untuk pejalan kaki. Anak laki-laki yang membawa obor berkumpul di sekitar tempat-tempat malam yang populer. Misalnya teater, bar, dan tempat perjudian. Mereka menunggu pelanggan menggunakan jasanya.
Sang pembawa obor akan berteriak, “Siapa yang pulang? Siapa yang pulang?”. Suara mereka masih terdengar di Parlemen setelah rapat malam. Saat itu, anggota Parlemen berkumpul dalam kelompok dan menyewa seorang anak laki-laki.
Anak laki-laki itu membawa rantai api—seutas tali atau kain yang dicelupkan ke dalam ter, damar, atau ujung lilin yang meleleh. Obor itu digunakan untuk menuntun sang penyewa ke rumah atau tempat tujuannya.
Tanda-tanda pekerjaan yang dulunya umum ini masih terlihat di seluruh Kota London. Anda mungkin melihat terompet logam terbalik tergantung di dinding rumah tua di London. Nah, terompet terbalik itu dulunya berfungsi sebagai pemadam api dari obor.
Dahulu, pemadam api besar ini tergantung di dinding banyak rumah. Di sisinya ada penyangga dan batu khusus untuk menggosok bagian obor yang hangus agar apinya tetap menyala.
Ketika penyewa telah diantar ke tujuannya, anak laki-laki itu biasanya memadamkan api di tabung pemadam berbentuk kerucut atau terompet. Praktik ini menghemat bahan bakar untuk perjalanan berikutnya.
Sekarang setelah Anda mengetahui apa itu link-boy, Anda mungkin mulai melihat referensi tentang mereka dalam karya Shakespeare dan Dickens. Seperti banyak tokoh kelas pekerja, mereka tidak pernah mendapat banyak perhatian dari kaum terpelajar, tapi mereka sering muncul.
“Bak melayang di latar belakang,” tulis Amelia Soth di laman JSTOR Daily. Para penyair membandingkan link-boy dengan kunang-kunang. Pelukis menggambarkan mereka sebagai Cupid, yang melakukan tugas-tugas rahasia.
Pada saat yang sama, orang-orang yang menyewa link-boy cenderung memandang mereka dengan curiga. Ada kekhawatiran bila para pekerja penghubung kota itu bersekongkol dengan bandit.
Baca Juga: Menara London, Benteng Bersejarah Tempat Eksekusi Orang-Orang Penting
Penyewa jasanya khawatir jika link-boy mungkin tiba-tiba memadamkan obornya dan meninggalkan penyewa di bawah belas kasihan sekawanan pencuri. Tidak mengherankan bahwa para majikan mereka yang kaya raya merasa khawatir, pasalnya sebagian besar “lampu berjalan” itu adalah anak-anak yang sangat miskin.
Link-boy bahkan bertahan lebih lama dari munculnya lampu jalan di London. Ketika lampu gas pertama kali datang ke London pada awal tahun 1800-an, lampu-lampu itu cukup redup. Dan bahkan ketika lampu jalan semakin maju, muncul ancaman baru yang membuat link-boy diperlukan: kabut London yang terkenal.
London rentan terhadap kabut setidaknya sejak tahun 1600-an. Tapi ketika urbanisasi meningkat dan polusi memburuk, London mendapati dirinya suram dalam kabut yang semakin tebal dan lebih berbahaya. Banyaknya cerobong asap di London yang terus-menerus mengeluarkan asap.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu jurnal meteorologi, “London bagai gunung berapi dengan seratus ribu mulut.” Ketika kondisi atmosfer bersekongkol untuk menekan asap ini kembali ke jalan-jalan, hasilnya mengerikan.
Begitu tebal dan kuning sehingga mendapat julukan “sup kacang”, kabut menutupi matahari di tengah hari. Tidak mungkin untuk melihat dari satu ujung jalan ke ujung lainnya. Udara membakar mata dan tenggorokan orang-orang, dan debu menggelapkan pakaian mereka. Serpihan jelaga menempel di bangunan-bangunan dalam bentuk kerak hitam.
Lampu gas diperkenalkan pada tahun 1811. Sebagian orang takut jika gas akan meracuni udara dan meledak serta melukai penduduk. Namun cahaya yang terus menerus dari nyala api gas akhirnya membuat masa depan anak-anak penghubung menjadi gelap.
Grosvenor Square menggunakan lampu gas pada 1842, itu adalah alun-alun terakhir yang diterangi oleh minyak. Di saat yang sama, “lampu berjalan” terakhir pun padam.