Asal-usul Tradisi Menyanyikan Kidung Natal yang Menambah Keceriaan

By Sysilia Tanhati, Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB
Bernyanyi dan Natal tampaknya berjalan beriringan secara alami. Bagaimana asal-usul menyanyikan kidung Natal yang menambah keceriaan itu? (Ethan Lindsey/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Bernyanyi dan Natal tampaknya berjalan beriringan secara alami. Sebagian orang tidak menghadiri konser atau mengikuti paduan suara. Namun, mereka mungkin dengan senang hati berpartisipasi dalam menyanyikan kidung atau lagu Natal dengan cahaya lilin. Dalam suasana seperti ini, kidung Natal atau Christmas carol menambah keceriaan Natal. Dan setiap orang ikut serta, hampir tanpa sengaja. Namun, bagaimana asal-usul musik paduan suara yang menghiasi suasana Natal itu?

Tradisi menyanyikan kidung Natal berasal dari Abad Pertengahan, dan tidak terbatas pada musim Natal. Ada kidung untuk Paskah, Tahun Baru, dan terkadang bahkan untuk acara politik seperti Pertempuran Agincourt.

Bentuk puisinya sederhana: serangkaian bait dengan teks yang berbeda, diselingi dengan refrain yang berulang. Pada masa yang lebih baru, istilah “kidung Natal” berarti lagu apa pun yang dikaitkan dengan Natal.

Kidung Natal Abad Pertengahan dari Inggris dan tempat lain masih terus dinyanyikan, meskipun banyak yang berubah. Good Christian Men, Rejoice berasal dari abad ke-14. Syairnya dipercaya sebagai karya biarawan Dominikan Heinrich Seuse (Suso). Melodinya dikenal dalam bahasa Latin sebagai In dulci jubilo (dalam sukacita yang manis), dan sering digunakan sebagai dasar komposisi instrumental.

Lagu Good Christian Men, Rejoice masuk ke dalam bahasa Inggris melalui publikasi Carols for Christmastide tahun 1853 oleh J.M. Neale. Kidung Natal memberikan kontribusi yang signifikan terhadap adopsi hiasan musiman secara menyeluruh di era Victoria. “Bersama dengan pohon Natal dan kartu ucapan yang disetujui kerajaan,” tulis Peter Roennfeldt di laman The Conversation.

Selama berabad-abad hingga pada pertengahan tahun 1800-an, relatif sedikit komposisi baru dalam genre ini dalam bahasa Inggris. Namun, beberapa karya yang lebih tepat disebut himne Natal diproduksi selama abad ke-18.

Salah satunya adalah Adeste fideles atau O Come, All Ye Faithful. Penulisannya masih diperdebatkan, tetapi sumber yang paling mungkin adalah Cantus diversi volume 1751, yang diterbitkan oleh John Francis Wade. Seperti kebanyakan kidung Natal lainnya, teksnya memiliki referensi Kristen yang jelas.

Yang menarik, kidung ini juga dianggap mengandung simbolisme Jacobite yang terselubung. Frasa “all ye faithful” dan “to Bethlehem” masing-masing merujuk kepada para pendukung Bonnie Prince Charlie dan Inggris sendiri. Wade melarikan diri ke Prancis setelah kegagalan pemberontakan Jacobite 1745. Namun himnenya segera digunakan secara teratur, khususnya di kalangan umat Katolik Inggris.

Indikasi adopsi yang lebih luas adalah dimasukkannya O Come, All Ye Faithful dalam Layanan Sembilan Pelajaran dan Kidung Natal. Tradisi modern tersebut diresmikan di Katedral Truro Cornwall pada tahun 1880. Di era media massa, upacara Natal yang paling terkenal ini, menjadi akrab secara universal, pertama di radio dan kemudian televisi. Paduan suara di seluruh dunia juga menampilkan program Pelajaran dan Kidung Natal mereka sendiri setiap bulan Desember. Dan paling sering diakhiri dengan lagu O Come, All Ye Faithful.

Kidung Natal paling terkenal sepanjang masa tidak diragukan lagi adalah Silent Night, Holy Night. Lirik asli untuk Stille Nacht, Heilige Nacht ditulis oleh Joseph Mohr pada tahun 1816. Melodinya 2 tahun kemudian dibuat oleh Franz Xaver Gruber. Keduanya tinggal di desa-desa dekat Salzburg.

Versi bahasa Jerman diterbitkan segera setelahnya, dan terjemahan bahasa Inggris yang dikenal pada tahun 1859. Kemudian lagu itu diterjemahkan ke hampir 150 bahasa. Karena sifatnya yang universal, Silent Night pada tahun 2011 ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda.

Baca Juga: Sejarah Pohon Natal: Tradisi Pagan Kuno hingga Ancaman Ekosistem

Menyanyikan kidung Natal di rumah

Orang-orang menyanyikan lagu-lagu Natal di rumah diiringi piano. Hal ini biasanya dilakukan setelah makan malam pada masa Natal. Mereka juga bernyanyi di bar. Tradisi ini masih sering dilakukan di beberapa daerah di Inggris, khususnya Yorkshire, Nottinghamshire, dan Derbyshire.

Sebuah fenomena baru hadir di era Victoria. Sekelompok orang, khususnya anak-anak, menyanyikan lagu-lagu Natal dari rumah ke rumah. Setelah bernyanyi, mereka disuguhi makanan dan minuman oleh tuan rumah.

Menyanyikan lagu Natal Victoria secara tradisional dilakukan pada tanggal 21 Desember (hari raya Santo Thomas) dan pada Malam Natal. Setiap keluarga memastikan mereka memiliki pai cincang hangat atau minuman beralkohol hangat. Beberapa orang berkeliling sambil bernyanyi dan menawarkan lembaran musik lagu-lagu Natal untuk dijual.

Musisi jalanan pun turut membawakan lagu-lagu Natal dengan biola, pipa, peluit, akordeon, dan organ. Lagu-lagu Natal sangat cocok untuk dibunyikan dengan lonceng. Jadi, kelompok paduan suara keliling akan membawa lonceng untuk menambah keceriaan Natal.

Sejak Abad Pertengahan, lagu-lagu Natal telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Natal.