Geger Samin: Saat Penganut 'Agama Adam' Tolak Bayar Pajak pada Era Kolonial

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 25 Desember 2024 | 16:00 WIB
Pohon jati besar (Tectona grandis) yang didorong oleh Gerakan Samin untuk dimanfaatkan penduduk Blora sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. (Wikimedia Commons)

Sikap komunitas Samin terhadap perpajakan dan pemerintahan kolonial dapat dipandang sebagai bentuk negosiasi budaya dan sosial, di mana mereka berusaha menjaga cara hidup mereka sambil menegaskan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat.

Selain itu, penolakan komunitas Samin terhadap norma-norma tertentu yang diberlakukan oleh rezim kolonial, seperti penggembalaan kolektif dan kontribusi finansial, menunjukkan komitmen mereka untuk mempertahankan otonomi dan integritas budaya.

Perlawanan ini sering dipahami dalam konteks yang lebih luas sebagai upaya mencari keadilan dan kesetaraan, karena masyarakat Samin memandang Surosentiko sebagai sosok mesianis yang dapat memimpin mereka menuju pembebasan dari penindasan kolonial.

Patung Ki Samin Surosentiko di Desa Sambongrejo, Blora, Jawa Tengah. Desa ini adalah salah satu masyarakat Sedulur Sikep tinggal sebagai petani. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Ajaran Samin Surosentiko menekankan perilaku moral, solidaritas komunitas, dan pelestarian lingkungan, yang semakin memperkokoh identitas dan tujuan komunitas tersebut dalam menghadapi kesulitan.

Pada pihak pemerintah kolonial, gerakan samin ini merupakan gerakan yang sangat merugikan bagi pihak Belanda karena masyarakat pengikut ajaran samin ini menolak membayar pajak.

Dalam hal ini tentunya membuat pihak pemerintah kolonial merasa dirugikan oleh masyarakat samin karena tidak adanya pemasukan pajak kepada pemerintah kolonial.

Sementara itu, di pihak masyarakat pribumi ataupun pengikut ajaran samin ini tentunya merupakan suatu keuntungan baginya karena mereka dapat menikmati hasil pertaniannya tanpa dikenakan pajak oleh pemerintah kolonial.

Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda.

Hal ini terwujud dalam sikap : penolakan membayar pajak, penolakan memperbaiki jalan, penolakan jaga malam (ronda), penolakan kerja paksa/rodi.

Baca Juga: Rupa-Rupa Pajak dalam Sejarah Manusia: dari Urine hingga Janggut

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.