Apa yang Kita Harapkan Setelah 130 Tahun Penemuan Pithecantropus erectus?

By Neza Puspita Sari Rusdi, Rabu, 25 Desember 2024 | 10:00 WIB
'Sangiran 17' merupakan julukan Pithecantropus VIII, yang merupakan fosil terpenting yang kita miliki dalam evolusi manusia. Inilah fosil Homo erectus terlengkap di Indonesia, yang hidup pada 0,7 juta tahun silam di Jawa. Fosil koleksi Museum Geologi Bandung ini dipamerkan bersama tiga fragmen spesies yang sama milik Museum Manusia Purba Sangiran. Pameran bertajuk 'Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus' digelar di Museum Nasional Indonesia, 20 Desember 2024 sampai 20 Januari 2025. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Shinatria Adhityatama, seorang ahli arkeologi yang kini sebagai peneliti Griffith Center for Social and Cultural Research, Griffith University di Queensland, Australia, turut memberikan apresiasinya pada penyelenggaraan pameran ini.

"Pertama kalinya mengangkat tema akar prasejarah Indonesia yang menjadi cikal bakal kajian evolusi manusia di dunia lewat penemuan Homo erectus, satu dari sekian hominin purba yang ditemukan di Indonesia," ujar Shinatria. “Fosil yang dipamerkan juga original, sehingga publik bisa turut mengapresiasi dan belajar langsung melalui fosil-fosil tersebut.”

Pada 2016 hingga 2019, Shinatria pernah meneliti situs prasejarah Trinil, yang bekerjasama dengan Museum Naturalis (Naturalis Biodiversity Center) di Leiden, Belanda. Ia menambahkan saran, pameran ini seharusnya juga menampilkan penelitian terkini sehingga publik mengetahui bahwa situs prasejarah—seperti di Trinil—tidak berhenti untuk diteliti. "Dan hasil dari risetnya terus menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah akan evolusi manusia.

Replika atap tengkorak dan tulang paha temuan Eugene Dubois di Trinil pada musim hujan 1891. Namun penelitian mutakhir menunjukkan bahwa tulang paha itu bukan merujuk pada Homo erectus, melainkan manusia modern. Di Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda, fosil tulang paha itu sudah tidak dipamerkan kembali. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Shinatria menambahkan tentang temuan penelitian yang mengejutkan dunia paleontologi. "Fosil Homo erectus temuan Dubois bukan berasal dari satu individu yang sama. Atap tengkorak berasal dari masa awal Pleistosen sedangkan tulang paha (femur) berasal dari lapisan yg lebih muda (akhir Pleistosen)," ujarnya. "Secara morfologi Femur I dari Trinil juga tidak cocok dengan fitur Homo Erectus, lebih condong ke manusia modern."

Penelitian Shinatria dan timnya itu bertajuk "Revised age and stratigraphy of the classic Homo erectus-bearing succession at Trinil (Java, Indonesia) " yang terbit di Quaternary Science Reviews pada 2023. Penelitian ini didukung lembaga riset dari beberapa negara, salah satunya Pusat Riset Arkeologi, Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan di Badan Riset Inovasi NasionaBadan Riset Inovasi Nasional. 

Ia juga memberikan rujukan penelitian lainnya,  "Structure and composition of the Trinil femora: Functional and taxonomic implications" yang terbit di Journal of Human Evolution pada 2015.

Sampai saat ini temuan Dubois yang legendaris itu masih berada di Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda. Namun, menurut Shinatria yang berkesempatan berkunjung pada tahun ini, sejak temuan penelitian tahun lalu itu Femur I dari Trinil itu tidak dipajang lagi sebagai bagian Homo erectus.

Peranti litik tinggalan Homo erectus yang dipamerkan dalam 'Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?' di Museum Nasional Indonesia. Kita kembali menekuri perjalanan evolusi manusia berikut dengan peranti-perantinya untuk bertahan hidup. Barangkali peranti itu sama pentingnya dengan teknologi gawai cerdas untuk ukuran zaman sekarang. Sejauh mana evolusi berpikir telah mengubah wajah Bumi? Sanggupkah kita menciptakan peradaban yang lebih unggul, baik bagi manusia maupun spesies lainnya? (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Sejatinya penemuan Pithecantropus erectus bukan hanya tonggak sejarah bagi Indonesia, tetapi juga menjadi sejarah perkembangan evolusi manusia penghuni planet ini. Indonesia memberikan kontribusi besar dalam ilmu paleoantropologi global.

Shinatria berharap, "Dengan adanya pameran ini, riset tentang prasejarah Indonesia agar semakin digiatkan karena Indonesia memiliki potensi dan peran penting akan kajian evolusi dan sejarah manusia.”

Pameran ini menjadi medium edukasi bagi masyarakat. Kita mendapat pengetahuan tentang asal usul manusia sekaligus perjalanan manusia dalam sejarah alam. Fosil-fosil telah bercerita bagaimana leluhur kita berkembang dan kita pun menyadari siapa kita sesungguhnya. 

Pada akhirnya kita berasal dari Afrika, berbeda-beda dalam genetika tetapi berada dalam satu Nusantara. Kini kita mempertanyakan kembali kepada spesies kita sendiri, sejauh mana evolusi berpikir telah mengubah wajah Bumi? Sanggupkah kita menciptakan peradaban yang lebih unggul, baik bagi manusia maupun spesies lainnya? 

Situs-situs prasejarah menjadi pengingat bagi kita betapa pentingnya menjaga dan melestarikan temuan arkeologi. Ibarat lampu yang memandu pertunjukan, temuan-temuan itu merupakan warisan ilmu pengetahuan untuk memandang masa depan kemanusiaan. 

Fadli Zon dalam akhir pengantar pameran ini mengungkapkan, “Semoga pameran ini dapat menjadi langkah besar dalam menegaskan peran Indonesia di panggung dunia sebagai episentrum peradaban purba.”