Apa yang Kita Harapkan Setelah 130 Tahun Penemuan Pithecantropus erectus?

By Neza Puspita Sari Rusdi, Rabu, 25 Desember 2024 | 10:00 WIB
'Sangiran 17' merupakan julukan Pithecantropus VIII, yang merupakan fosil terpenting yang kita miliki dalam evolusi manusia. Inilah fosil Homo erectus terlengkap di Indonesia, yang hidup pada 0,7 juta tahun silam di Jawa. Fosil koleksi Museum Geologi Bandung ini dipamerkan bersama tiga fragmen spesies yang sama milik Museum Manusia Purba Sangiran. Pameran bertajuk 'Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus' digelar di Museum Nasional Indonesia, 20 Desember 2024 sampai 20 Januari 2025. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Lampu utama dipadamkan. Lalu, berganti sorotan lampu yang memandu perhatian pada koridor utama: Sosok tubuh terbungkus kain putih yang misterius.

Ia menggeliat dan menyeruak mencari kebebasan. Dalam pendar cahaya merah, siluet gerakan-gerakan dan suara-suara mulut menciptakan adegan dramatis. Ketika akhirnya terbebas dari jerat kain putih, sosok misterius itu menampakkan diri sebagai manusia purba dengan gerakan acak dan liar. Wajah dan sekujur badannya berbulu kecokelatan, tanpa balutan busana.

Lampu utama kembali menyala sebagai penanda pertunjukan usai. Tepuk tangan membahana di Taman Arca, halaman tengah Museum Nasional Indonesia.

Sosok seniman tarinya adalah Sardono W. Kusumo, seorang senior yang dikenal sebagai maestro tari kontemporer. Malam itu ia membawakan pertunjukkan “Homo erectus Soloensis” yang menyajikan metafora perjalanan manusia dari masa lalu yang gelap menuju peradaban modern.

Maestro seni tari kontemporer Indonesia, Sadono W Kusumo, berpentas pada pembukaan pameran di Museum Nasional Indonesia yang memperingati 130 tahun temuan Pithecantropus erectus. Ia mengilustrasikan sosok kehidupan Homo erectus dan perannya pada perkembangan pengetahuan kini. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Pentas ini membuka pameran fosil manusia dan fauna purba bertajuk, "Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus".

Nama Pithecanthropus erectus bermakna "manusia kera yang berdiri tegak", yakni merujuk fosil manusia purba temuan Eugene Dubois pada 1891 di Trinil, dekat Sungai Bengawan Solo di Jawa Timur. Fosil itu kini menjadi koleksi Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda.

Dalam perkembangan paleontologi, nama spesies ini digabungkan dalam spesies Homo erectus. Cirinya, memiliki kapasitas otak yang lebih besar, sehingga memiliki kemampuan membuat alat-alat dari batu, dan berjalan tegak. Mereka merupakan nenek moyang langsung manusia modern, hidup sekitar 1,9 juta hingga 143.000 tahun silam.

Pembukaan pameran temporer bertema 'Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus erectus'. Tampak dari kanan ke kiri: Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha; Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meresmikan dengan peranti batu; Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Ahmad Mahendra; dan Penanggung Jawab Unit Museum Song Terus Albertus Nikko Suko Dwiyanto. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Selama pameran yang digelar pada 20 Desember 2024 sampai 20 Januari 2025, kita bisa menyaksikan secara langsung kranium Homo erectus paling legendaris, yang berjulukan Sangiran 17 atau Pithecantropus Erectus VIII. Satu-satunya Homo erectus yang memiliki 'wajah', dan hidup 0,7 juta tahun silam. Penemunya bukan peneliti, melainkan Tukimin dan Towikromo. Keduanya warga Dusun Pucung, Desa Dayu, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Kini, desa itu menjadi bagian dari kawasan Situs Sangiran Warisan Budaya Dunia yang ditetapkan UNESCO.

“Indonesia memberikan perspektif baru bagi penemuan manusia purba,” ucap Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sambutannya. Ia menyebutkan bahwa melalui teori Out of Africa, penemuan fosil manusia purba di Indonesia menjadi bukti jejak evolusi manusia di nusantara. Teori ini menyiratkan bahwa migrasi manusia modern dari Afrika kelak menggantikan populasi Homo erectus yang ada di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Melalui pameran ini, ungkapnya, kita mengingatkan dunia bahwa bab pertama peradaban manusia tidak hanya dimulai di Afrika, tetapi juga menemukan kekuatan dan kompleksitasnya di Nusantara.

Baca Juga: Revitalisasi Fort Vredeburg: Ikhtiar Menghidupkan Kembali Kastel Tua Pengikat Jiwa Kota

Fadli Zon juga menuturkan bahwa Nusantara bisa menjadi titik awal yang penting dalam pencarian jejak missing link atau kaitan yang hilang dalam perjalanan evolusi manusia. Artinya, negeri kita memiliki peran besar dalam perkembangan evolusi manusia. “Indonesia adalah peradaban terkuat di dunia. Hampir 60 persen fosil Homo erectus di dunia, ditemukan di Jawa, Indonesia. Kita adalah salah satu peradaban tertua di dunia,” simpul Fadli Zon.

Pameran ini merupakan kesempatan langka karena untuk pertama kalinya Sangiran 17, yang merupakan koleksi Museum Geologi Bandung, dipamerkan bersama tiga fosil Homo erectus lainnya koleksi Museum Manusia Purba Sangiran. Pada kesempatan ini dipamerkan juga koleksi-koleksi dari Museum Mpu Tantular dan Fadli Zon Library. Selain itu pameran ini juga mendapat dukungan dari Badan Riset Inovasi Nasional.

Malam dan hujan tampaknya tidak menyurutkan antusiasme pengunjung untuk melihat koleksi pameran. Ruang pamer tampak ramai pengunjung yang rela untuk mengantre demi menyaksikan 'rupa' leluhur manusia modern itu.

Koleksi kranium Sangiran 17 begitu istimewa karena satu-satunya Homo erectus yang wajahnya sampai pada kita sehingga replikanya tersebar di museum penjuru dunia. Ia tampil dalam sekat dengan tirai hitam tebal, dan penerangannya hanya mengandalkan lampu di dalam kotak kaca pamer.

Staf Laboratorium Unit Krikilan, Museum Sangiran Sragen, Irma, memotret kranium gajah purba (Elephas hysudrindicus) di pameran 'Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?' 130 Years After Pithecanthropus Erectus'. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Mereka menyimak pemandu yang menceritakan penemuan di setiap ruang koleksi. Dari kuda nil purba, kepala banteng purba, mastodon, dan stegodon yang memperkaya narasi tentang ekosistem awal Nusantara. Selain menampilkan fosil-fosil yang ditemukan warga dan ahli paleontologi, pameran ini juga menampilkan replika fosil.

Ruly Fauzi, seorang ahli arkeologi dan paleoantologi dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah di Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengungkapkan apresiasinya. Menurutnya, peran penemuan oleh warga seharusnya bisa menjadi bagian narasi pameran ini. 

Penelitian Ruly bertumpu pada peranti dan permukiman masa prasejarah dalam konteks migrasi, adaptasi, dan evolusi manusia di kepulauan Indonesia. Para peneliti lapangan, seperti Ruly, begitu menghargai warga di sekitar situs prasejarah. Mereka memiliki pengetahuan tentang geografi dan riwayat temuan-temuan warga, yang sangat berguna bagi peneliti. Proses penelitian akan lebih mudah apabila mereka bekerja sama dengan komunitas setempat. 

Pameran 'Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus erectus' yang menampilkan gading gajah purba dan tanduk kerbau purba. Fosil-fosil ini memberikan konteks ekologi Homo erectus. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Masyarakat setempat ibarat rekan peneliti di lapangan. Warga yang terlibat dalam pelestarian situs arkeologi atau paleontologi sejatinya merupakan agen pelindungan temuan-temuan dari kerusakan atau pencurian. Selain itu masyarakat yang terlibat dalam penelitian juga berperan semacam 'ilmuwan warga' yang turut menyebarkan pemahaman sains bagi komunitas setempat.

Masyarakat yang terlibat dalam penelitian, pelindungan, dan edukasi temuan sepatutnya mendapat penghargaan dan penghormatan. Saat ini Rully mencurahkan perhatiannya pada misi dekolonisasi, artinya saatnya sekarang untuk menampilkan narasi sejarah yang bertumpu pada peran masyarakat dalam penelitian. Misalnya, narasi peran Raden Saleh dalam sejarah perkembangan paleontologi Indonesia, atau warga-warga yang menjadi teladan dalam pelestarian dan pemanfaatan situs prasejarah bagi masyarakat. 

"Semacam penghargaan ke masyarakat. Gainning awareness," ujar Ruly. "Agar masyarakat sadar , kita hidup di atas sejarah yang panjang."

Shinatria Adhityatama, seorang ahli arkeologi yang kini sebagai peneliti Griffith Center for Social and Cultural Research, Griffith University di Queensland, Australia, turut memberikan apresiasinya pada penyelenggaraan pameran ini.

"Pertama kalinya mengangkat tema akar prasejarah Indonesia yang menjadi cikal bakal kajian evolusi manusia di dunia lewat penemuan Homo erectus, satu dari sekian hominin purba yang ditemukan di Indonesia," ujar Shinatria. “Fosil yang dipamerkan juga original, sehingga publik bisa turut mengapresiasi dan belajar langsung melalui fosil-fosil tersebut.”

Pada 2016 hingga 2019, Shinatria pernah meneliti situs prasejarah Trinil, yang bekerjasama dengan Museum Naturalis (Naturalis Biodiversity Center) di Leiden, Belanda. Ia menambahkan saran, pameran ini seharusnya juga menampilkan penelitian terkini sehingga publik mengetahui bahwa situs prasejarah—seperti di Trinil—tidak berhenti untuk diteliti. "Dan hasil dari risetnya terus menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah akan evolusi manusia.

Replika atap tengkorak dan tulang paha temuan Eugene Dubois di Trinil pada musim hujan 1891. Namun penelitian mutakhir menunjukkan bahwa tulang paha itu bukan merujuk pada Homo erectus, melainkan manusia modern. Di Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda, fosil tulang paha itu sudah tidak dipamerkan kembali. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Shinatria menambahkan tentang temuan penelitian yang mengejutkan dunia paleontologi. "Fosil Homo erectus temuan Dubois bukan berasal dari satu individu yang sama. Atap tengkorak berasal dari masa awal Pleistosen sedangkan tulang paha (femur) berasal dari lapisan yg lebih muda (akhir Pleistosen)," ujarnya. "Secara morfologi Femur I dari Trinil juga tidak cocok dengan fitur Homo Erectus, lebih condong ke manusia modern."

Penelitian Shinatria dan timnya itu bertajuk "Revised age and stratigraphy of the classic Homo erectus-bearing succession at Trinil (Java, Indonesia) " yang terbit di Quaternary Science Reviews pada 2023. Penelitian ini didukung lembaga riset dari beberapa negara, salah satunya Pusat Riset Arkeologi, Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan di Badan Riset Inovasi NasionaBadan Riset Inovasi Nasional. 

Ia juga memberikan rujukan penelitian lainnya,  "Structure and composition of the Trinil femora: Functional and taxonomic implications" yang terbit di Journal of Human Evolution pada 2015.

Sampai saat ini temuan Dubois yang legendaris itu masih berada di Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda. Namun, menurut Shinatria yang berkesempatan berkunjung pada tahun ini, sejak temuan penelitian tahun lalu itu Femur I dari Trinil itu tidak dipajang lagi sebagai bagian Homo erectus.

Peranti litik tinggalan Homo erectus yang dipamerkan dalam 'Indonesia, The Oldest Civilization on Earth?' di Museum Nasional Indonesia. Kita kembali menekuri perjalanan evolusi manusia berikut dengan peranti-perantinya untuk bertahan hidup. Barangkali peranti itu sama pentingnya dengan teknologi gawai cerdas untuk ukuran zaman sekarang. Sejauh mana evolusi berpikir telah mengubah wajah Bumi? Sanggupkah kita menciptakan peradaban yang lebih unggul, baik bagi manusia maupun spesies lainnya? (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Sejatinya penemuan Pithecantropus erectus bukan hanya tonggak sejarah bagi Indonesia, tetapi juga menjadi sejarah perkembangan evolusi manusia penghuni planet ini. Indonesia memberikan kontribusi besar dalam ilmu paleoantropologi global.

Shinatria berharap, "Dengan adanya pameran ini, riset tentang prasejarah Indonesia agar semakin digiatkan karena Indonesia memiliki potensi dan peran penting akan kajian evolusi dan sejarah manusia.”

Pameran ini menjadi medium edukasi bagi masyarakat. Kita mendapat pengetahuan tentang asal usul manusia sekaligus perjalanan manusia dalam sejarah alam. Fosil-fosil telah bercerita bagaimana leluhur kita berkembang dan kita pun menyadari siapa kita sesungguhnya. 

Pada akhirnya kita berasal dari Afrika, berbeda-beda dalam genetika tetapi berada dalam satu Nusantara. Kini kita mempertanyakan kembali kepada spesies kita sendiri, sejauh mana evolusi berpikir telah mengubah wajah Bumi? Sanggupkah kita menciptakan peradaban yang lebih unggul, baik bagi manusia maupun spesies lainnya? 

Situs-situs prasejarah menjadi pengingat bagi kita betapa pentingnya menjaga dan melestarikan temuan arkeologi. Ibarat lampu yang memandu pertunjukan, temuan-temuan itu merupakan warisan ilmu pengetahuan untuk memandang masa depan kemanusiaan. 

Fadli Zon dalam akhir pengantar pameran ini mengungkapkan, “Semoga pameran ini dapat menjadi langkah besar dalam menegaskan peran Indonesia di panggung dunia sebagai episentrum peradaban purba.”