Bahaya Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Monokultur Kelapa Sawit

By Muflika Nur Fuaddah, Senin, 13 Januari 2025 | 16:00 WIB
Aktivitas dalam perkebunan sawit di Indonesia. (Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.idMengubah hutan menjadi perkebunan sawit monokultur memiliki sejumlah dampak signifikan terhadap manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Dampak tersebut terutama terlihat pada keanekaragaman hayati di ekosistem tropis, terutama melalui hilangnya habitat dan penyederhanaan ekosistem.

Peneliti utama Jochen Drescher dari Departemen Ekologi Hewan, Universitas Göttingen, Jerman, dalam Ecological and Socio-economic Functions Across Tropical Land Use Systems AfterRainforest Conversion mengungkap dampak konversi dari hutan ke perkebunan monokultur di Provinsi Jambi. Dalam penelitiannya tahun 2016 yang terbit di The Royal Society tersebut, ia meyebutkan bahwa konversi hutan menyebabkan kehilangan besar keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi ekosistem, yang dapat mengancam kesejahteraan manusia dalam jangka panjang.

"Setelah tiga tahun pengukuran, data dari plot inti dan survei sosial-ekonomi menunjukkan perbedaan mencolok antara empat jenis sistem penggunaan lahan: hutan hujan, karet hutan (jungle rubber), monokultur karet, dan kelapa sawit," tulisnya.

Mikroklimat, struktur vegetasi, keanekaragaman hayati, dan aliran karbon menunjukkan perubahan signifikan, di mana hutan hujan memiliki kondisi terbaik, sementara karet hutan berada di posisi menengah.

Hutan hujan memiliki suhu udara yang lebih rendah dan kelembapan lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Hal ini sejalan dengan kanopi hutan yang lebih lebat, yang memberikan perlindungan alami terhadap panas.

Jatuhan serasah (litterfall) paling rendah ditemukan di monokultur karet, sementara hutan hujan memiliki stok karbon tertinggi dalam lapisan serasahnya. Pada perkebunan kelapa sawit, serasah tidak jatuh secara alami. Sebaliknya, daun dipotong selama panen dan ditumpuk di antara barisan pohon.

Distribusi serasah yang tidak merata ini menjelaskan perbedaan antara jumlah serasah daun yang tinggi tetapi karbon serasah yang rendah, karena tumpukan daun tidak diukur secara khusus.

Penurunan jumlah serasah dari hutan hujan ke karet hutan, kemudian ke perkebunan karet dan kelapa sawit, berdampak pada penurunan kekayaan spesies, kepadatan, dan biomassa invertebrata serasah daun. Hal ini menyebabkan berkurangnya aliran energi hingga 51% dari ekosistem hutan hujan ke perkebunan kelapa sawit.

Hutan hujan juga menyimpan karbon biomassa pohon, baik di atas maupun di bawah tanah, hingga lebih dari dua kali lipat dibandingkan karet hutan dan lebih dari empat kali lipat dibandingkan monokultur karet atau kelapa sawit. Kekayaan spesies dalam sistem pertanian jauh lebih rendah dibandingkan hutan hujan, terutama pada tumbuhan vaskular. Hutan hujan memiliki hampir enam kali lipat jumlah spesies dibandingkan monokultur.

"Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keanekaragaman tumbuhan dapat menjadi indikator kuat keanekaragaman arthropoda di wilayah tropis, dan data kami mendukung hal ini," ungkap Drescher.

"Kekayaan spesies konsumen di atas tanah, seperti semut kanopi, hampir dua kali lipat lebih tinggi di hutan hujan dibandingkan ekosistem yang telah dikonversi," lanjutnya.

Baca Juga: Kenapa Kita Terus Membiarkan Hutan Indonesia Hilang demi Kelapa Sawit?