Mengenal Kamp Boven-Digoel Tempat Diasingkannya Tokoh Bangsa

By Galih Pranata, Kamis, 30 Januari 2025 | 12:45 WIB
Potret Kamp Boven Digoel di Papua, tempat para tokoh bangsa diasingkan.
Potret Kamp Boven Digoel di Papua, tempat para tokoh bangsa diasingkan. (Nationaal Archief)

Sungai-sungai di sekitarnya dipenuhi buaya, penyakit tropis yang merajalela di hutan, dan masyarakat Papua di sekitarnya tidak selalu ramah terhadap orang asing. 

Kadang kala, interniran dapat terbunuh saat menjelajah masuk ke pedalaman Papua yang tak ramah. Upaya untuk melarikan diri sama saja dengan bunuh diri. Tidak pernah ada satu pun upaya pelarian yang berhasil selama masa hidup kamp tersebut.

Kontak dengan dunia luar sangat terbatas. Sebuah kapal yang membawa perbekalan dan surat yang disensor datang sebulan sekali.

Seiring berlalunya waktu, kafe-kafe ditambahkan, tempat para interniran bisa bermain biliar, dan beberapa restoran kecil. Para interniran tinggal di kampung-kampung yang diberi nomor dari A sampai F, yang mana 'A' paling dekat dengan sungai.

Gubernur Jenderal De Graeff memiliki 'pandangan etis': para tahanan harus dapat menjalani kehidupan 'normal' di Boven-Digoel. Tapi mereka dipaksa hidup normal dalam keadaan tidak normal.

Selama tahun 1927-1943 sekitar 3400 orang hidup dalam anomali ini. Para tahanan mungkin tidak dibunuh atau dianiaya secara fisik seperti di kamp konsentrasi, namun di bawah pemerintahan Belanda mereka dibiarkan mengurus diri mereka sendiri, yang mempunyai konsekuensi serius bagi kesehatan fisik dan mental mereka.

Penulis Mas Marco Kartodikromo dan istri di kamp interniran di Tanamerah, Boven Digoel. Pergerakan komunisme Islam yang dilakukan Haji Misbach sudah dimulai sejak 1914 ketika mengikuti Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan Marco. (KITLV)

Mungkin dua interniran Boven-Digoel yang paling terkenal adalah Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta. Setelah bocornya surat Hatta kepada iparnya tentang kondisi kamp yang keras, hal itu menimbulkan keresahan dalam Volksraad.

Disepakati bahwa Digoel tidak cocok untuk 'intelektual' seperti Sjahrir dan Hatta, karena itu mereka kemudian dipindahkan ke pulau Banda Neira di Maluku pada tahun 1936.

Selain itu, tokoh penulis, jurnalis dan intelektual lainnya adalah Marco Kartodikromo yang diasingkan ke Digoel karena dianggap beraliansi sejak komunisme Islam Haji Misbach beraksi sejak 1914. 

Namun sebaliknya, kondisi Tanah Merah yang memprihatinkan dan keras tidak menimbulkan masalah lebih lanjut bagi para narapidana yang kurang berpendidikan.

Kehidupan sehari-hari di Boven-Digoel terkadang terlihat aneh. Misalnya didirikan klub opera, serta grup seni pertunjukan tradisional Jawa dan Sumatra, band krontjong, Kunst en Sportvereeniging Digoel, dan band jazz bernama Digoel Sneert.