Sebuah masjid dan sekolah juga dibangun, serta hunian bagi para guru magang mengajar bahasa Belanda dan Indonesia.
Selain itu, di kampung B ada kesempatan untuk menonton film dan kabaret. Para narapidana pada umumnya mempunyai mentalitas 'manfaatkan sebaik-baiknya'.
Sebagian besar interniran di Tanah Merah termasuk di antara mereka yang 'bersedia bekerja', karena (putus asa) berharap bisa dibebaskan. Penahanan yang sering kali tanpa harapan ini merupakan siksaan terus-menerus bagi para tahanan.
Elemen lain yang tidak biasa dari kamp ini adalah layanan kesehatan yang sangat baik, salah satu yang terbaik di Hindia Belanda bahkan. Tanpa kecuali, dokter-dokter terbaik dikirim ke kamp tersebut, terutama para ahli di bidang malaria dan penyakit tropis lainnya.
Hal ini perlu dilakukan karena para interniran dengan cepat jatuh sakit karena malaria merupakan penyakit yang umum terjadi di daerah tersebut.
Di kamp ada obsesi terhadap 'kebersihan'. Setiap hari pada jam 4 sore, para narapidana berkumpul di depan rumah sakit untuk menerima pil kina untuk melawan malaria, yang harus diminum di tempat di bawah pengawasan polisi.
Kadang-kadang orang menjadi sakit parah setelah beberapa saat meminum pil ini, yang mengakibatkan, misalnya, 'tuli kina'.
Selain Tanah Merah ada kamp kedua yang disebut Tanah Tinggi (dataran tinggi). Kamp ini terletak tiga puluh lima kilometer di hulu. Tanah Tinggi bahkan lebih terisolasi dibandingkan Tanah Merah dan kontak dengan pemerintah dan tentara sangat minim.
Di sini mereka yang 'tidak dapat didamaikan' diasingkan, bahkan dalam kondisi yang lebih bobrok dan miskin. Isolasi yang berkepanjangan menimbulkan banyak perselisihan di antara para interniran dan sangat membebani jiwa.
Terdapat juga perselisihan timbal balik di kedua kubu berdasarkan garis etnis dan politik, dengan banyak konflik yang berkobar antara orang Sumatera dan orang Jawa.
Meskipun sejak keberadaan Boven-Digoel telah terjadi diskusi baik di Belanda maupun di Hindia Belanda mengenai hak keberadaan kamp tidak sehat ini, namun kamp tersebut tidak pernah dihapuskan.
Baru pada tahun 1943, karena Belanda takut akan pembebasan orang-orang interniran oleh Jepang, para tahanan yang tersisa (beberapa ratus) dipindahkan dari Boven-Digoel ke Australia.
Menurut Charles O. van der Plas (1891-1977), yang memimpin organisasi evakuasi dari Boven-Digoul atas nama NICA (Nederland Indies Civil Administration), situasi di Australia sangat buruk.
Hanya ketika 'Digoulis' dari Tanah Merah menyerahkan diri kepada pemerintah Australia barulah mereka dibebaskan dari interniran Belanda di Australia.
Pada masa Perang Dekolonisasi Indonesia, Belanda menyarankan pembukaan kembali Boven-Digoel, namun pada tahun 1946 dilakukan persiapan untuk menutup kamp tersebut dan pada tahun 1947 letnan gubernur jenderal memutuskan untuk mengeluarkan dua puluh empat interniran terakhir dari Boven-Digoel.
Setelah itu, hingga penyerahan Nugini Belanda ke Indonesia pada tahun 1962, Tanah Merah berubah menjadi kota administratif yang sepi, di mana hutan liar perlahan-lahan menelan kamp interniran yang aneh dan tanpa ampun ini.