"Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di Bumi, menyimpan sejumlah besar karbon di tanah mereka," sebut Haruni.
Selain itu, lebih dari 90% cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada berbagai tumbuhan (vegetasi) di atasnya.
Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan bersifat “irrecoverable” atau rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia dan jika hilang tidak mudah untuk dipulihkan.
Dengan karakteristiknya tersebut, baik lahan gambut maupun mangrove menjadi ekosistem penyerap karbon yang paling efisien di dunia dan menjadi solusi alami yang penting untuk memitigasi perubahan iklim serta membantu negara-negara mencapai target nol karbon.
“Namun ketika lahan gambut dan mangrove terganggu, biasanya karena alih fungsi lahan, mereka akan melepas karbon dalam jumlah besar ke atmosfer,” terang Sigit yang juga memimpin jalannya penelitian ini.
Nisa Novita, salah satu penulis artikel dan Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim YKAN, mengatakan bahwa melestarikan lahan gambut dan mangrove yang masih tersisa serta merestorasi ekosistem lahan basah yang terdegradasi merupakan solusi iklim alami yang hemat biaya.
Nisa meyakini solusi ini dapat membantu mencapai target komitmen iklim dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution-NDC) oleh negara-negara di Asia Tenggara.
“Hal ini khususnya berlaku untuk Indonesia, di mana potensi mitigasi dari konservasi dan pemulihan lahan basah saja dapat melampaui target pengurangan emisi negara tersebut untuk tahun 2030 dalam skenario mitigasi tanpa syarat,” terang Nisa, seperti dikutip dari keterangan tertulis YKAN.
YKAN sendiri saat ini terus menyempurnakan perhitungan emisi gas rumah kaca untuk menilai dampak konservasi dan restorasi khususnya di lahan gambut. Pengukuran emisi gas rumah kaca dari tanah dan badan air dilakukan di berbagai jenis tutupan lahan di Kalimantan dan Sumatera.
Dari pemantauan emisi gas rumah kaca jangka panjang selama beberapa tahun, YKAN melaporkan bahwa pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi karbon bersih hingga 34%.
YKAN juga telah mengkaji emisi gas dari lahan gambut yang secara hidrologis tidak terganggu di Muara Siran, Provinsi Kalimantan Timur, dan menemukan bahwa lahan gambut alami menghasilkan emisi metana secara signifikan dengan emisi CO2 yang rendah.