Kekejian Gubernur Jenderal Valckenier di Balik Chineezenmoord 1740

By Galih Pranata, Kamis, 27 Februari 2025 | 08:00 WIB
Gubernur Jenderal VOC, Adriaan Valckenier menyimpan sejarah kelam di balik pembantaian 10.000 Tionghoa di Batavia yang dikenang sebagai peristiwa Chineezenmoord pada tahun 1740.
Gubernur Jenderal VOC, Adriaan Valckenier menyimpan sejarah kelam di balik pembantaian 10.000 Tionghoa di Batavia yang dikenang sebagai peristiwa Chineezenmoord pada tahun 1740. (Wikimedia Commons)

Maklumat itu berisi: Ketentuan yang dibuat karena banyaknya perempuan Tionghoa yang diungsikan ke luar kota, ketentuan tersebut adalah pelarangan setiap orang memasuki kota untuk mengungsikan perempuan Tionghoa.

Bagi orang-orang Tionghoa yang tidak menaati aturan untuk menyerahkan senjata dan melakukan perlawanan pada pejabat hukum beserta pasukan Kompeni akan menembak mati mereka.

Secara umum, pada jam 18.30 semua orang Tionghoa harus menetap di rumahnya dan dilarang menghidupkan lampu. Setelahnya, dilaporkan sejumlah pasukan Kompeni juga menjarah harta dan senjata orang Tionghoa.

Tidak habis di situ, sang gubernur jenderal bahkan mengutus para pasukannya untuk menghabisi pemukiman Tionghoa di Batavia.

Sebagaimana kebijakan awal Valckenier untuk menghabisi para pemberontak, pasukan VOC mulai menghujani rumah-rumah orang Tionghoa dengan meriam.

Kawasan di Kota Batavia, kemungkinan Jalan Tiang Bendera kini. Cuplikan dalam litografi Jakob van der Schley  (1715–1779) berdasar lukisan karya Adolf van der Laan (1690 –1742) tentang Massacre des Chinois—pembantaian orang-orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740.
Kawasan di Kota Batavia, kemungkinan Jalan Tiang Bendera kini. Cuplikan dalam litografi Jakob van der Schley (1715–1779) berdasar lukisan karya Adolf van der Laan (1690 –1742) tentang Massacre des Chinois—pembantaian orang-orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740. (Rijksmuseum Amsterdam)

Tidak hanya orang Eropa, Valckenier bahkan membuat desas-desus kengerian, bahaya laten jika Tionghoa berniat akan menguasai Batavia. Hal itu menyebabkan kalangan pribumi, budak, dan orang asing pula.

Kewaspadaan hingga kebrutalan mendorong pembantaian atas Tionghoa. "Aksi pembantaian juga dilakukan oleh para budak dan pendatang dari Timur Tengah. Mereka dipaksa ikut menyerang dengan ancaman keselamatan nyawa," terus Kartika Sari.

Kekerasan ini dengan cepat menyebar ke hampir seluruh kota Batavia, sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh secara keji.

Puncaknya di 10 Oktiober 1740 pengumpulan orang Tionghoa yang diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Valckenir. Pada orang Tionghoa tersebut dilakukan pemburuan ke rumah-rumah dan tempat tersembunyi mereka.

Sekiranya, ditemukan 500 orang dari pemburuan tersebut langsung diarahkan ke Stadthuis, balaikota Batavia (kini Museum Fatahillah). Di sanalah tahanan-tahanan Tionghoa itu dipenggal kepalanya.

Orang Tionghoa yang berada di rumah sakit juga ikut diburu dan dibawa ke pinggir sungai agar memudahkan untuk pembuangan jenazah mereka.

Lebih sadisnya lagi, Gubernur Jenderal menawarkan hadiah sebesar dua pukat untuk siapa saja yang bisa memenggal kepala orang Tionghoa. Ketakutan menjalar sana-sini, banyak di antara orang Tionghoa menjadi putus asa dan depresi.

Bahkan saking menderitanya orang-orang Tionghoa itu, "menyebabkan mereka membuat pilihan untuk membunuh dirinya dengan gantung diri," imbuh Kartika Sari.

Pada 13 Oktober 1740 kobaran api masih menyala-nyala di Batavia, pada kekacauan dan kekejaman antara Kompeni VOC dengan warga Tionghoa itu diperhitungkan memakan korban sebanyak 7.000 sampai 10.000 korban jiwa dari warga Tionghoa.