Nationalgeographic.co.id—Ilmuwan Italia mengklaim telah menemukan cara terbaik untuk merebus telur menurut sains. Setelah panelis mencobanya sendiri, dapat dipastikan bahwa hasilnya memang lezat.
Merebus telur mungkin tampak seperti tugas kuliner yang sederhana, tetapi kenyataannya, banyak orang dibuat frustrasi oleh proses ini.
Tak terhitung teknik dan trik yang dikembangkan untuk mendapatkan hasil sempurna. Siapa yang belum pernah merasa kecewa saat memecahkan telur yang tampaknya sudah dimasak dengan sempurna, hingga kemudian menemukan bagian dalamnya terlalu keras atau masih terlalu cair?
Menurut tim peneliti dari Italia, ada alasan mengapa merebus telur dengan sempurna begitu sulit: albumen (putih telur) dan kuning telur memerlukan suhu yang berbeda untuk mencapai tingkat kematangan optimal.
Putih telur idealnya dimasak pada suhu sekitar 85°C, sementara kuning telur lebih baik dimasak pada suhu sekitar 65°C. Dalam jurnal Communications Engineering, para peneliti dari University of Naples Federico II mengklaim telah menemukan metode yang paling efektif menurut sains untuk memasak putih dan kuning telur secara bersamaan.
Metode ini menghasilkan telur yang lebih lezat dan bergizi dibandingkan metode lainnya. Namun, ada satu kekurangan: prosesnya membutuhkan dua panci air, termometer, dan waktu lebih dari setengah jam.
Teknik ini melibatkan satu panci berisi air mendidih dan satu wadah berisi air dengan suhu sekitar 86°F (30°C). Kuncinya adalah merendam telur dalam air mendidih selama dua menit, lalu memindahkannya ke air yang lebih dingin selama dua menit, kemudian kembali ke air mendidih. Proses ini diulangi selama delapan siklus penuh, atau total 32 menit.
Meskipun kita penasaran bagaimana tim peneliti ini mengembangkan resep yang begitu rumit, satu pertanyaan mungkin langsung muncul di benak kita: apakah usaha ini sepadan?
Reka Ulang
Tim dari National Geographic mencoba mereka ulang penelitian tersebut, dengan antusias, mereka mencoba sendiri metode yang dikembangkan para ilmuwan ini.
Mereka menyiapkan dua panci: satu dengan air yang terus mendidih dan satu lagi yang dijaga suhunya sekitar 30°C (86°F) menggunakan termometer dapur.
Baca Juga: Inilah Alasan Kita Tidak Bisa Merebus Telur di Puncak Gunung Everest
Tentu saja, percobaan mereka tidak sepresisi studi aslinya. Meskipun menggunakan stopwatch, ada keterlambatan beberapa detik saat memindahkan telur dari satu panci ke panci lainnya.
Menjaga suhu air yang lebih dingin juga menjadi tantangan, karena memasukkan telur yang baru saja direbus dalam air mendidih menyebabkan suhu naik satu atau dua derajat.
Para peneliti merekomendasikan untuk memulai dengan suhu air dingin pada 28°C agar perubahan suhu ini bisa diminimalisir.
Mereka juga menyarankan untuk sedikit menggores bagian ujung cangkang sebelum memasak dan mengaduk telur perlahan saat berada di air dingin. Namun, ternyata mereka lupa melakukan kedua hal tersebut.
Hasilnya? Lezat!
Kuning telur memiliki warna emas yang kaya, rasanya lebih gurih, dan teksturnya sedikit lembut tanpa menjadi cair.
Bagi mereka yang lebih suka telur rebus dengan tekstur lebih padat, metode ini mungkin sedikit mengecewakan. Namun, para peneliti menyarankan untuk meningkatkan suhu air yang lebih dingin jika menginginkan hasil yang lebih keras. Bagi kita, teksturnya sudah mendekati sempurna!
Mengapa Mengembangkan Resep Ini?
Para peneliti ini bekerja di FoamLab, laboratorium sains di University of Napoli Federico II yang berfokus pada struktur material dalam berbagai suhu dan kondisi.
Fokus utama penelitian mereka sebenarnya adalah plastik. Namun, menurut direktur lab sekaligus salah satu penulis studi, Ernesto Di Maio, proyek ini bermula dari tantangan seorang kolega yang meminta mereka menerapkan keahlian mereka pada sesuatu yang lebih populer, seperti makanan.
Kolega tersebut memberi tahu Di Maio tentang seorang koki yang menjual telur seharga 80 euro per butir. Koki itu menggunakan teknik yang cukup rumit, di mana putih dan kuning telur dimasak secara terpisah, lalu disatukan kembali dengan cara yang sangat elegan.
Merasa tertantang, Di Maio meminta mahasiswa PhD Emilia Di Lorenzo untuk mengembangkan metode yang memungkinkan kedua bagian telur matang pada suhu idealnya masing-masing, tanpa harus memisahkan atau merusak cangkangnya.
Di Lorenzo mendekati tantangan ini dengan cara khas seorang ilmuwan material. Sebelum melakukan uji coba langsung, ia menghabiskan beberapa minggu menjalankan simulasi komputer untuk memodelkan perpindahan panas dari air ke dalam telur.
Tujuannya adalah menemukan kombinasi suhu dan waktu yang memungkinkan putih dan kuning telur matang dengan sempurna.
"Kami benar-benar menulis model matematika yang tepat," jelas Di Lorenzo.
"Kemudian, kami mengembangkan program dinamika fluida komputasi untuk menguji berbagai skenario. ‘Bagaimana jika kita memasaknya pada 100 derajat Celsius? Apa yang akan terjadi?’ dan seterusnya."
Menariknya, setelah beberapa bulan, Di Maio baru menyadari bahwa Di Lorenzo sebenarnya tidak menyukai telur sama sekali! "Jadi, saya seperti menyiksanya dengan proyek ini," candanya.
Sebaliknya, Di Maio sendiri sangat menikmati hasilnya dan bahkan memasaknya untuk keluarganya saat Paskah tahun lalu. "Mereka benar-benar terkejut dengan rasanya," katanya.
Selain menghasilkan tekstur putih dan kuning telur yang sempurna, penelitian ini juga menemukan bahwa metode mereka dapat meningkatkan kandungan nutrisi telur dibandingkan metode memasak lainnya.
Namun, tujuan utama mereka bukanlah mematenkan metode baru memasak telur, melainkan melakukan eksperimen ilmiah yang menyenangkan.
Dalam makalah mereka, para peneliti menulis bahwa "pengetahuan tentang sains di balik masalah sederhana dapat meningkatkan aspek terkecil dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti sekadar menikmati sebutir telur."