Nationalgeographic.grid.id—Sebuah pulau yang asri nun indah pemai, menguarkan aroma pala dan geliat ekonomi raksasa hingga ke Eropa. Ialah Pulau Banda yang sohor namanya hingga ke Benua Biru.
Pada saat itu pula, Jan Pieterszoon Coen menambatkan kapalnya di Banda Neira pada tahun 1609 untuk kali pertama. Seorang perwira angkatan laut muda yang masih segar itu tiba di Banda kala usianya baru 22.
Coen mendapat mandat di bawah komando Laksamana Pieter Willemsz Verhoeff. Saat tiba di sana, ia bertemu dengan Kapten William Keeling dari Inggris. Namun, pertemuan awal mereka tak mengenakkan.
Terjadi miskomunikasi yang mencipta bersitegang antara Coen dengan pihak Inggris di Banda. Keeling menghasut orang Banda untuk memusuhi Belanda yang waspada terhadap armada VOC yang besar milik Verhoeff akan menguasai Banda.
Coen, permulaannya menyampaikan surat dari Pangeran Maurits dan Jenderal Negara, serta menuntut tanah untuk mendirikan benteng. Selain itu juga, Coen mengklaim monopoli VOC dalam perdagangan pala di sana.
Semua perintah dan tindakan agresif Coen bukan tanpa dasar. Verhoeff yang sejatinya mendesak keberadaan Inggris di sana. Orang Banda tak merespon tuntutan dari Coen sebagai wakil VOC, hingga mereka mengomunikasikannya dengan Inggris.
Pada 25 April 1609, Verhoeff mulai jengah, bosan menunggu. Segeranya ia meminta Coen untuk mengerahkan pasukan dan memulai pembangunan benteng di Neira. Ia menurunkan tujuh ratus orang ke darat dan pembangunan segera dimulai.
Namun, saat para pasukan VOC baru memulai membangun benteng, orang Banda mendekati mereka dan mengundang VOC untuk membuka pembicaraan yang baik tentang kesepakatan-kesepakatan terbaik.
Maka, Verhoeff sendiri sebagai pejabat VOC yang turun langsung menghadiri undangan mereka. Menembusi hutan-hutan dan bukit. Nahas, undangan itu hanya intrik. Verhoeff disergap!
Kabarnya, tiga puluh pasukannya ditemukan tewas. Mengerikannya lagi, jasad Verhoeff kemudian ditemukan tanpa kepala! Kepalanya dipenggal dan tak pernah lagi dapat ditemukan.
Pasca kematian Verhoeff dan kembalinya Coen ke Belanda pada tahun 1611, membuat Inggris masih berkuasa di Banda.
Baca Juga: Histori Nasib Benteng Nassau, Warisan Budaya Kepulauan Banda
Laju waktu menggelinding deras. Pieterszoon Coen kembali ke Asia pada tahun 1614. Karier Coen terus menanjak. Ia dipromosikan untuk menjadi anggota Dewan Hindia sekaligus direktur jenderal semua kantor VOC di Asia.
Hal ini menjadikan Coen sebagai orang VOC yang paling berkuasa di Hindia Belanda, setelah Gubernur Jenderal.
Hal paling gila yang dipikirkan oleh Coen setelah kematian pemimpinnya dulu, Verhoeff adalah dengan mengosongkan Banda. Jan Pieterszoon Coen berpikir bahwa tidak ada salahnya jika ia harus membangun kembali Banda yang telah kosong.
Untuk kali keduanya, Coen menginjakkan kakinya di Banda. Namun, orang-orang Banda tak semudah yang dibayangkan untuk dapat tunduk di bawah bendera VOC dengan sejumlah kerja sama dan monopolinya.
Salah satu pulau di Banda, Pulau Ai adalah yang paling keras menentang VOC. Mereka tak menggubris kontrak kerja sama dengan VOC dan terus asik berdagang dengan Inggris. Hal inilah yang mendorong Coen mengutus prajuritnya untuk menyerang orang-orang Ai.
Pada tahun 1615, pada serangan pertama, Coen mengerahkan beberapa pasukannya. Tapi, serangan ini berhasil dipukul mundur. Setahun kemudian, pada tahun 1616, VOC kembali lagi ke Pulau Ai dengan kondisi berbeda.
Mereka mengerahkan kekuatan militer yang sangat besar dengan tujuan yang paling kejam: mengosongkan Ai. Coen bertekad untuk mengusir atau jika tetap sulit, akan membunuh semua penduduk Banda.
Sekitar 400 orang Ai dikabarkan tewas dalam serangan kedua itu. Kebanyakan mereka dibunuh, dan sisanya mati tenggelam setelah berusaha melarikan diri dari serangan tentara VOC yang amat keji membabi buta.
Setelah genosida itu, Pulau Ai sepenuhnya diduduki oleh VOC dan orang-orang yang bekerja untuknya.
Gayung bersambut, Pieterszoon Coen menerima jabatan tertinggi untuk memimpin Hindia Belanda sebagai seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Peristiwa terbesar sebelum dilantiknya sebagai Gubernur Jenderal adalah dengan menumpas serangan Mataram saat berupaya menguasai Jayakarta. Kemenangan VOC atas Mataram itu mendorong pengubahan nama Jayakarta menjadi Batavia.
Baik antara VOC maupun Inggris sebenarnya telah terikat perjanjian pada tahun 1619 untuk membagi dua pertiga dari perdagangan rempah-rempah, tapi Inggris telah bersepakat dengan Banda, bahwa Banda sepenuhnya tunduk pada Inggris.
Jan Pieterszoon Coen yang mengetahui hal itu menjadi geram. Ia pun berkata: "sudah saatnya untuk bertindak!"
Pada tanggal 27 Februari 1621, armada VOC di bawah komando Coen tiba di Pulau Banda. Coen ingin mencegah Inggris mendirikan pos perdagangan di Lonthor. Coen juga memerintahkan kepada orang kaya Banda untuk menolak tunduk pada Inggris.
Menariknya, orang-orang kaya menolak permintaan Coen, hingga menimbulkan seteru hebat antara orang-orang Banda dengan VOC. Orang-orang tak beda, mereka tetap berani menghadapi VOC.
Lonthor yang menjadi pos perdagagan Inggris dan berupaya dihancurkan Belanda, berhasil terlindungi. Orang-orang Banda mengarahkan pertempuran ke bukit yang curam sehingga VOC kewalahan.
Coen membawa selusin kapal bersenjata, membawa 1.500 tentara, 155 prajurit dari Ambon dan 286 tawanan Jawa. Sebaliknya, suku Banda diperkirakan memiliki 4.000 orang bersenjata dari perkiraan jumlah populasi 15.000 jiwa.
Dengan pasukan besar, VOC berupaya mendarat pada tanggal 6 Maret 1621 di Lonthor. Penduduk Banda yang mengetahui pendaratan itu mulai menembaki kapal utama VOC dengan meriam pemberian Inggris. Pendaratan VOC pun batal.
Di antara barisan Banda yang pro terhadap Inggris, seorang pembelot muncul ke tengah-tengah pasukan VOC. Ia membongkar celah kepada para prajurit untuk memanjat tebing guna melewati pertahanan Lonthor.
Setelah mengetahui celah itu, pada tanggal 11 Maret 1621, pasukan VOC telah berhasil masuk dan menghancurkan pertahanan Lonthor. Dalam kondisi terdesak, banyak di antara orang Banda memilih tunduk pada VOC.
Coen meminta para tawanan untuk menyerahkan seluruh persenjataan kepada VOC. Setelah benar-benar menguasai Lonthor, VOC akhirnya membangun benteng Hollandia di sana.
Beberapa orang Banda yang sudah berdamai dengan VOC belum kunjung juga menyerahkan persenjataan mereka. Hal ini yang kemudian mendorong Coen untuk bertindak agresif.
Ia memaksa seluruh penduduk Banda yang tidak kooperatif kepada VOC harus meninggalkan Banda. Coen menjanjikan kepada orang-orang Banda yang diusir dari kampung moyangnya akan diberikan hunian nyaman dan pekerjaan di Jawa.
Namun, mereka yang selamat dalam perjalanan ke Jawa dengan kapal-kapal VOC dibuang di rawa-rawa sekitar Batavia dan kemudian dijual sebagai budak!
Kembali terngiang kematian Verhoeff, membuat Coen tidak menaruh kepercayaan pada orang-orang Banda. Mereka telah menjebak dan menipu atasannya hingga dipenggal kepalanya.
Meski sudah menjalin kerja sama dengan orang-orang Banda yang kooperatif, JP Coen tetap memerintahkan kepada prajuritnya untuk membersihkan etnik Banda. Bahkan, ada isu yang sampai ke telinganya tentang rencana upaya pembunuhan.
Orang-orang kaya Banda yang dinilai sebagai inisiator di balik upaya pembunuhan Coen kemudian ditangkap. Sekitar 44 orang kaya dijatuhi siksaan kejam dengan tujuan hukuman mati.
Pada seorang algojo VOC, salah satu orang kaya Banda sempat bertanya sebelum dipenggal kepalanya: "Tuan, apakah tidak ada belas kasihan?"
Sebuah benda tajam menghempaskan kepala mereka. Nyawa tercerabut dari jasadnya. Tuntas.
Sebuah tiang bambu tajam telah disiapkan untuk digantungkan di sana. Tubuhnya juga digantungkan terpisah di sekitarnya. Setelahnya, VOC menguasai kota, membakar rumah-rumah, dan mendirikan benteng, di mana 1.200 orang Banda menjadi tawanan.
Coen tidak berhenti di situ, kepada orang-orang Banda yang melarikan diri hingga ke perbukitan, diminta pada pasukannya untuk memburu dan membawa mayat mereka.
Selama perburuan itu, orang-orang VOC telah menyaksikan banyak orang-orang Banda yang telah mati. Mereka memilih bunuh diri. Coen juga telah berhasil menemukan beberapa ribu orang Banda yang masih berani mengobarkan perlawanan.
Pertempuran berlangsung hanya dalam waktu satu jam. Orang-orang Banda yang dalam kondisi terdesak itu hanya mempersenjatai diri dengan batu dan tombak. Setelah itu, beberapa yang masih hidup kembali melarikan diri.
Di perbukitan Selamon itu, ditangkap 3.000 penduduk yang berusaha terus melarikan diri. Mereka yang terus memberontak dan melawan, dipukuli hingga mati. Beberapa yang putus asa, memutuskan melompat dari tebing dan mati bunuh diri.
Sekelompok kecil orang Banda berhasil melarikan diri ke Pulau Run, meski akhirnya juga ditangkap pada Juli 1622.
Mereka yang melarikan diri dijatuhkan hukuman mati, karena diduga telah mencoba membunuh beberapa penjaga VOC dalam upaya melarikan diri dari kelaparan di pulau itu.
Selain itu, banyak warga Banda yang tenggelam saat mencoba melarikan diri, namun beberapa selamat saat menyeberang ke Pulau Seram, Kei, dan Aroe.
Diperkirakan hanya sekitar 1.000 dari 13.000 hingga 15.000 penduduk Banda yang selamat dari pembantaian tersebut. Banyak yang meninggal setelah penaklukan VOC atas Kepulauan Banda akibat kelelahan, penyakit, dan kelaparan.
***
Tulisan ini disadur dari artikel gubahan Robbert van Leeuwen di laman Historiek berjudul Jan Pieterszoon Coen en het bloedbad op de Banda-eilanden, terbitan 21 Maret 2025.
---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.