Nationalgeographic.co.id—Sebuah peristiwa astronomi mungkin telah menandai berakhirnya salah satu dinasti paling simbolis di Mesir kuno. Gerhana matahari total terjadi pada 1 April 2471 SM. Peristiwa itu kemungkinan memiliki hubungan langsung dengan jatuhnya Dinasti Keempat Mesir, era para pembangun piramida besar. Jadi apakah gerhana matahari total menjadi penyebab orang Mesir kuno berhenti membangun piramida besar?
Penemuan ini telah dianalisis dalam sebuah studi oleh Giulio Magli dari Universitas Politeknik Milan. Studi tersebut bertajuk "The April 1, 2471 b.C. eclipse and the end of 4th Egyptian dynasty."
Magli menyelidiki kemungkinan bahwa fenomena langit ini memengaruhi politik, agama, dan stabilitas Mesir kuno. Peneliti melakukan analisis terperinci tentang astronomi dan arkeologi pada masa itu. Lewat analisis, ia merekonstruksi dampak simbolis yang mungkin ditimbulkan oleh gerhana tersebut terhadap masyarakat Mesir kuno. “Di era tersebut, matahari merupakan dewa tertinggi,” tulis Guillermo Carvajal di laman La Bruju La Verde.
Untuk memahami signifikansi gerhana ini, penting untuk mempertimbangkan konteks Dinasti Keempat. Dinasti Keempat memerintah Mesir selama Kerajaan Lama (sekitar tahun 2613–2494 SM). Era ini adalah era firaun pembangun piramida besar: Sneferu, Khufu (juga dikenal sebagai Cheops), Khafre, dan Menkaure.
Para firaun ini mengonsolidasikan kekuasaan kerajaan melalui struktur arsitektur megah. Struktur tersebut tidak hanya berfungsi sebagai makam monumental tetapi juga sebagai simbol hubungan ilahi mereka dengan matahari, dewa tertinggi Ra. Pemilihan lokasi piramida di Giza, Dahshur, dan Abu Roash secara langsung selaras dengan teologi surya dan pengamatan peristiwa astronomi.

Contohnya Firaun Khufu. Ia mendirikan Piramida Agung Giza di lokasi strategis tempat titik balik matahari dan ekuinoks memainkan peran penting dalam desainnya. Para penerusnya, Djedefre dan Khafre, melanjutkan tradisi ini. Mereka menggabungkan nama Ra ke dalam nama mereka sendiri dan memperkuat ideologi surya dalam monarki.
Namun, pada akhir Dinasti Keempat, visi ini mulai runtuh. Firaun terakhir dinasti tersebut, Shepseskaf, membuat keputusan radikal. Alih-alih membangun piramida seperti pendahulunya, ia memerintahkan pembangunan mastaba di Saqqara. Perubahan ini telah membingungkan para arkeolog selama berabad-abad. “Karena tampaknya menandai pemutusan hubungan dengan tradisi dinasti dan agama,” tambah Carvajal.
Gerhana 2471 SM: Pertanda Ilahi
Pada titik ini, gerhana matahari total pada 1 April 2471 SM mulai terjadi. Menurut Magli, fenomena ini mungkin dianggap sebagai tanda murka para dewa atau pertanda ketidakstabilan politik.
Bagi orang Mesir kuno, matahari bukan hanya sumber cahaya dan kehidupan, tetapi juga poros utama pandangan dunia mereka. Ra adalah dewa pencipta, penjamin ketertiban (Maat), dan pelindung firaun. Gerhana, yang terjadi saat matahari menjadi gelap dan menghilang sesaat, ditafsirkan sebagai peringatan bahwa ada yang salah di kerajaan. Dari sudut pandang politik, kegelapan yang tiba-tiba di tengah hari dapat menyebabkan keresahan di kalangan elite pendeta dan penduduk.
Baca Juga: Bukan Sekadar Makam, Menguak Rahasia Pembangunan Piramida Mesir Kuno
Keresahan tersebut merusak kepercayaan pada dinasti yang berkuasa. Jika Matahari, pelindung firaun, “dilahap” oleh kekuatan tak kasat mata, itu berarti kekuasaan firaun dalam bahaya.
Ketakutan ini mungkin telah mempercepat kemunduran Dinasti Keempat. Padahal. Dinasti Keempat sudah dilemahkan oleh masalah suksesi dan konflik internal. Meskipun bukti arkeologi tidak memungkinkan adanya hubungan langsung antara gerhana dan keruntuhan dinasti, hipotesisnya menarik. Mungkinkah peristiwa astronomi ini memicu krisis legitimasi bagi Shepseskaf dan garis keturunannya?
Setelah kematian Shepseskaf, Mesir kuno memasuki fase reorganisasi politik yang mengarah pada Dinasti Kelima. Dinasti Kelima lebih menekankan pada penyembahan Ra dan pembangunan kuil surya alih-alih piramida monumental.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa pergeseran ideologis ini merupakan respons langsung terhadap krisis Dinasti Keempat. Jika gerhana dianggap sebagai tanda bahwa firaun telah kehilangan dukungan ilahi, dinasti baru tersebut mungkin berupaya memulihkan tatanan kosmik. Caranya adalah memperkuat penyembahan Ra dan menjauh dari model firaun yang didasarkan pada pembangunan piramida raksasa.
Dalam hal ini, studi Magli menawarkan perspektif baru tentang bagaimana peristiwa astronomi mungkin memengaruhi sejarah Mesir. Bukan hanya tentang fenomena alam, tetapi tentang bagaimana fenomena tersebut ditafsirkan oleh peradaban yang agama dan politiknya sangat terkait erat dengan kosmos.
Lebih dari 4.000 tahun kemudian, gerhana matahari terus menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap sejarah Mesir kuno. Kita tidak akan pernah tahu pasti apa yang dipikirkan penduduk Lembah Nil ketika matahari menghilang dari langit pada hari musim semi itu. Tapi kemungkinan gerhana matahari memengaruhi nasib salah satu dinasti paling kuat dalam sejarah tetap menjadi hipotesis yang menarik.