Mitigasi Bencana dalam Naskah Jawa 'Panjeblugipun Redi Kelut' 1919

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 8 April 2025 | 13:30 WIB
Ohannes Kurkdjian mengobservasi Gunung Kelud (Kelut) di Jawa Timur, pasca-erupsi Mei 1901. Gunung ini kembali erupsi pada 19-20 Mei 1919, yang menebar bencana banjir lahar di sisi selatannya.
Ohannes Kurkdjian mengobservasi Gunung Kelud (Kelut) di Jawa Timur, pasca-erupsi Mei 1901. Gunung ini kembali erupsi pada 19-20 Mei 1919, yang menebar bencana banjir lahar di sisi selatannya. (KITLV)

 

Nationalgeographic.co.id—"Orang-orang di desa-desa berjalan mondar-mandir membawa botol habis atau akan membeli minyak untuk berjaga-jaga barangkali terjadi gelap gulita," tulis  S. Dayawiyata. "Akan tetapi akhirnya tidak, hanya agak remang-remang serta hujan abu mengguyur hingga selama dua hari."

Dayawiyata adalah warga Desa Prambanan, perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia menceritakan Gunungapi Kelut (Kelud) yang kembali meletus pada 19 dan 20 Mei 1919. Bahkan dentuman dan abunya sampai juga ke desanya kendati berjarak lebih dari 200 kilometer dari pusat bencana. Gunungapi itu berada di antara dua karesidenan di Jawa Timur, yakni Karesidenan Kediri dan Karesidenan Pasuruan. 

Orang-orang di desanya siaga dan mempersiapkan minyak untuk penerangan. Tampaknya, mereka masih mengingat pengalaman serupa pada 21 Mei 1901—nyaris tepat 18 tahun sebelumnya! "Oleh karena yang sudah terjadi meletusnya Gunung Kelut dapat menyebabkan gelap gulita sampai di tempat tinggal saya," ungkapnya.

Dayawiyata menuliskan kisahnya dalam untaian aksara Jawa dalam buku bertajuk Panjeblugipun Redi Kelut, atau Meletusnya Gunungapi Kelut, yang diterbitkan Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, pada 1922. Namun, dia bukan penulis tunggal dalam buku itu. Penulis lain bernama Mas Yudakusuma. Naskah mereka selesai ditulis 40 hari setelah gunung itu bererupsi.

Kendati menulis dalam buku yang sama, keduanya menggunakan bahasa Jawa yang berbeda. Dayawiyata menggunakan bahasa Jawa krama, sedangkan Yudakusuma berbahasa Jawa ngoko. Selain itu Dayawiyata menggunakan sumber sekunder seperti surat kabar, sedangkan Yudakusuma tampaknya menggunakan sumber sekunder dan primer—mendapatkan penuturan warga atau pengamatan langsung ke Kota Blitar yang terdampak erupsi. Boleh jadi, saat penulisan itu keduanya memang tak saling kenal. 

Peta Gunung Kelud karya Franz Wilhelm Junghuhn pada 1853, yang menampilkan danau kawahnya. Saat erupsi pada 1919, danau ini menimbulkan banjir lahar yang menyapu Kot Blitar dan sekitarnya.
Peta Gunung Kelud karya Franz Wilhelm Junghuhn pada 1853, yang menampilkan danau kawahnya. Saat erupsi pada 1919, danau ini menimbulkan banjir lahar yang menyapu Kot Blitar dan sekitarnya. (Wikimedia Commons)

Sampai sejauh ini dua penulis itu begitu misterius, asal usul dan siapa sejatinya mereka. Namun, setelah membaca karya keduanya, kita bisa menduga bahwa Dayawisaya dan Yudakusuma adalah sosok dari kelas terpelajar di Jawa.

Kita beruntung karena naskah ini kembali dikenal publik setelah Suyami, Taryati, dan Sumarno menggarap penelitian bertajuk Kajian Kebencanaan dalam Naskah 'Panjêblugipun Rêdi Kêlut' yang terbit pada 2015. Ketiganya merupakan staf Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNP) Yogyakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka mengungkap informasi di balik peristiwa meletusnya Gunungapi Kelut yang terekam dalam naskah ini. Salah satunya, menyajikan gambaran mitigasi bencana terkait peristiwa meletusnya Gunungapi Kelut pada 1919.

Dalam naskah Panjeblugipun Redi Kelut disebutkan catatan paling awal erupsi Kelut adalah pada 1586, yang dikabarkan korbannya mencapai sepuluh ribu jiwa. Erupsi berikutnya tercatat pada 1752, 1771, 1811, 1826, 1833, 1848, 1864, dan 1901.

Naskah ini menyebutkan korban erupsi 1919 mencapai 50 ribu jiwa. Kita memaklumi ketidakakuratan pencatatan dan penghimpunan data saat itu. Namun, apabila kita merujuk sumber yang lebih akurat, korbannya sejumlah 5.160 jiwa. Meskipun demikian, gunungapi ini tetap menyandang julukan sebagai salah satu gunung api paling mematikan di Jawa.

Sejatinya, catatan naskah ini memberikan wawasan yang berharga tentang mitigasi bencana, yakni upaya yang dilakukan untuk mengurangi atau mencegah dampak buruk akibat bencana terhadap kehidupan manusia. Setidaknya terungkap berbagai langkah mitigasi yang dilakukan masyarakat pada masa itu, meskipun dengan keterbatasan teknologi dan pengetahuan modern.

Baca Juga: Pandangan Adat: Gunung Merapi Merespons Kerusakan Alam dan Moralitas Manusia