Mitigasi Bencana dalam Naskah Jawa 'Panjeblugipun Redi Kelut' 1919

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 8 April 2025 | 13:30 WIB
Ohannes Kurkdjian mengobservasi Gunung Kelud (Kelut) di Jawa Timur, pasca-erupsi Mei 1901. Gunung ini kembali erupsi pada 19-20 Mei 1919, yang menebar bencana banjir lahar di sisi selatannya.
Ohannes Kurkdjian mengobservasi Gunung Kelud (Kelut) di Jawa Timur, pasca-erupsi Mei 1901. Gunung ini kembali erupsi pada 19-20 Mei 1919, yang menebar bencana banjir lahar di sisi selatannya. (KITLV)

 

Nationalgeographic.co.id—"Orang-orang di desa-desa berjalan mondar-mandir membawa botol habis atau akan membeli minyak untuk berjaga-jaga barangkali terjadi gelap gulita," tulis  S. Dayawiyata. "Akan tetapi akhirnya tidak, hanya agak remang-remang serta hujan abu mengguyur hingga selama dua hari."

Dayawiyata adalah warga Desa Prambanan, perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia menceritakan Gunungapi Kelut (Kelud) yang kembali meletus pada 19 dan 20 Mei 1919. Bahkan dentuman dan abunya sampai juga ke desanya kendati berjarak lebih dari 200 kilometer dari pusat bencana. Gunungapi itu berada di antara dua karesidenan di Jawa Timur, yakni Karesidenan Kediri dan Karesidenan Pasuruan. 

Orang-orang di desanya siaga dan mempersiapkan minyak untuk penerangan. Tampaknya, mereka masih mengingat pengalaman serupa pada 21 Mei 1901—nyaris tepat 18 tahun sebelumnya! "Oleh karena yang sudah terjadi meletusnya Gunung Kelut dapat menyebabkan gelap gulita sampai di tempat tinggal saya," ungkapnya.

Dayawiyata menuliskan kisahnya dalam untaian aksara Jawa dalam buku bertajuk Panjeblugipun Redi Kelut, atau Meletusnya Gunungapi Kelut, yang diterbitkan Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, pada 1922. Namun, dia bukan penulis tunggal dalam buku itu. Penulis lain bernama Mas Yudakusuma. Naskah mereka selesai ditulis 40 hari setelah gunung itu bererupsi.

Kendati menulis dalam buku yang sama, keduanya menggunakan bahasa Jawa yang berbeda. Dayawiyata menggunakan bahasa Jawa krama, sedangkan Yudakusuma berbahasa Jawa ngoko. Selain itu Dayawiyata menggunakan sumber sekunder seperti surat kabar, sedangkan Yudakusuma tampaknya menggunakan sumber sekunder dan primer—mendapatkan penuturan warga atau pengamatan langsung ke Kota Blitar yang terdampak erupsi. Boleh jadi, saat penulisan itu keduanya memang tak saling kenal. 

Peta Gunung Kelud karya Franz Wilhelm Junghuhn pada 1853, yang menampilkan danau kawahnya. Saat erupsi pada 1919, danau ini menimbulkan banjir lahar yang menyapu Kot Blitar dan sekitarnya.
Peta Gunung Kelud karya Franz Wilhelm Junghuhn pada 1853, yang menampilkan danau kawahnya. Saat erupsi pada 1919, danau ini menimbulkan banjir lahar yang menyapu Kot Blitar dan sekitarnya. (Wikimedia Commons)

Sampai sejauh ini dua penulis itu begitu misterius, asal usul dan siapa sejatinya mereka. Namun, setelah membaca karya keduanya, kita bisa menduga bahwa Dayawisaya dan Yudakusuma adalah sosok dari kelas terpelajar di Jawa.

Kita beruntung karena naskah ini kembali dikenal publik setelah Suyami, Taryati, dan Sumarno menggarap penelitian bertajuk Kajian Kebencanaan dalam Naskah 'Panjêblugipun Rêdi Kêlut' yang terbit pada 2015. Ketiganya merupakan staf Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNP) Yogyakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka mengungkap informasi di balik peristiwa meletusnya Gunungapi Kelut yang terekam dalam naskah ini. Salah satunya, menyajikan gambaran mitigasi bencana terkait peristiwa meletusnya Gunungapi Kelut pada 1919.

Dalam naskah Panjeblugipun Redi Kelut disebutkan catatan paling awal erupsi Kelut adalah pada 1586, yang dikabarkan korbannya mencapai sepuluh ribu jiwa. Erupsi berikutnya tercatat pada 1752, 1771, 1811, 1826, 1833, 1848, 1864, dan 1901.

Naskah ini menyebutkan korban erupsi 1919 mencapai 50 ribu jiwa. Kita memaklumi ketidakakuratan pencatatan dan penghimpunan data saat itu. Namun, apabila kita merujuk sumber yang lebih akurat, korbannya sejumlah 5.160 jiwa. Meskipun demikian, gunungapi ini tetap menyandang julukan sebagai salah satu gunung api paling mematikan di Jawa.

Sejatinya, catatan naskah ini memberikan wawasan yang berharga tentang mitigasi bencana, yakni upaya yang dilakukan untuk mengurangi atau mencegah dampak buruk akibat bencana terhadap kehidupan manusia. Setidaknya terungkap berbagai langkah mitigasi yang dilakukan masyarakat pada masa itu, meskipun dengan keterbatasan teknologi dan pengetahuan modern.

Baca Juga: Pandangan Adat: Gunung Merapi Merespons Kerusakan Alam dan Moralitas Manusia

Kita bisa belajar akan pentingnya mitigasi prabencana dalam naskah ini. Bagaimana kita peka terhadap tanda-tanda alam, seperti perubahan aktivitas gunung berapi dan fenomena alam lainnya. Masyarakat diajarkan untuk mengenali tanda-tanda awal letusan, seperti gempa kecil dan peningkatan aktivitas vulkanik di sekitar gunung. 

Peka tentang tanda-tanda alam

Dayawiyata menghimpun kabar tentang tanda-tanda alam yang diamati warga Karesidenan Kediri sebelum Gunungapi Kelut meletus dahsyat. Dia mencatat, sepanjang tengah malam warga merasakan gempa-gempa kecil yang intensitasnya semakin sering. Kendati dini hari, mereka menyaksikan "di sekeliling Gunung Kelut tampak terang seperti siang hari, karena tersinari cahaya kilat yang berseliweran dan keluarnya api dari puncak gunung."

"Oleh karenanya orang-orang di tempat itu kemudian kebingungan, tingkahnya seperti padi ditampi," ungkap Dayawiyata. Keadaan ini segera menimbulkan kebingungan dan kepanikan warga Karesidenan Kediri, yang sejatinya merupakan situasi manusiawi ketika jelang bencana di mana pun. Namun, di sinilah tantangan masyarakat yang hidup bersama bencana: Sejauh mana kebingungan dan kepanikan itu dapat dikendalikan.

Pada letusan kedua pada hari itu puncak Gunung Kelut sebelah selatan runtuh menimpa kawah yang menyebabkan banjir lumpur dan lahar selebar hampir 7,5 kilometer. Suara laju banjir dan lahar itu bergemuruh mengerikan. Tingginya hampir dua meter, menerjang apapun dengan kecepatan bagaikan kilat. 

Sebuah bencana tercipta dengan sempurna. Yudakusuma mengungkapkan banjir lumpur dan lahar itu sampai juga ke permukiman Kota Blitar, menerjang apapun sampai tuntas hingga tak berbekas. "Pada malam itu suara orang di Kota Blitar seperti lebah terbang bersamaan, tingkah lakunya seperti padi ditampi, tidak karuan larinya, tidak menghiraukan harta bendanya, pikirannya hanya ingin menyelamatkan jiwanya," catat Yudakusuma mengenang peristiwa mengerikan itu.  "[...] Seketika di Blitar hilang wujudnya sebagai kota, berubah menjadi lautan lahar."

Ohannes Kurkdjian adalah seorang fotografer terkenal berdarah Armenia yang hidup pada era Hindia Belanda. Ia lahir pada 1851 di Yerevan, Kekaisaran Rusia, dan meninggal pada 1903 di Surabaya, Hindia Belanda. Kurkdjian dikenal karena karya fotografi dokumenternya yang mencakup potret, lanskap, serta aktivitas sosial dan ekonomi di Hindia Belanda. Dua tahun sebelum wafat, ia berkesempatan menapaki Gunung Kelut pasca-erupsi pada 1901. (KITLV)

Mencegah banjir lahar

Melihat banjir lahar yang merusak rumah dan mengakibatkan korban jiwa, Yudakusuma menambahkan satu bahasan bertajuk "Panyegahe Babahan Lahar" yang bermakna "Pencegahan Bencana Lahar".

Setiap tahun telaga kawah Gunungapi Kelut terisi air hujan kira-kira 6.000.000 meter kubik. Apabila air tidak mengalir keluar telaga, setiap tahun telaga akan semakin bertambah sebanyak. Ketika gunung meletus pada 1919, berpuluh-puluh miliar meter kubik air telaga keluar bersama material vulkanik seketika dari kawah melalui tepi kawah yang rendah sehingga mengakibatkan kerusakan besar permukiman di kaki gunung. 

"Menurut saya," tulisnya, "tidak ada lagi caranya kecuali dengan menjaga jangan sampai telaga gunung berapi itu terisi air, jadi harus dibuatkan saluran pembuangan air yang tidak mudah rusak." Mitigasi prabencana melalui pemantauan dan pengurangan volume air dalam kawah gunungapi dapat menjadi bagian dari strategi mitigasi yang lebih luas untuk mengurangi dampak bencana banjir lahar.

Orang-orang dalam ketakutan saat letusan gunung berapi Kelud. Bagian dari kelompok dua belas lembaran lepas dari sebuah buku sketsa dengan gambar-gambar tentang kehidupan Coenraad Laurens Coolen, seorang penginjil di Jawa Timur, sekitar tahun 1820-1850. (Rijksmuseum)

Catatan Panjeblugipun Redi Kelut juga merekam panduan leluhur berdasar pengalaman mereka ketika Gunungapi Kelut bererupsi pada zaman-zaman silam, yang diwariskan lintas generasi sebagai mitigasi saat bencana.

Komunikasi antarwarga

Sebelum air tiba di Kota Blitar, warga yang terbangun kemudian membangunkan tetangganya dan sanak saudaranya. Meski teknologi mereka tergolong sederhana, sebuah sistem informasi kabar berantai telah tercipta. Mereka memberitahukan secara sambung-menyambung bahwa bencana lahar sedang menuju ke kota.

Kepekaan semacam ini tampaknya diwariskan oleh orang-orang terdahulu. "Lahar belum datang, orang yang sudah terjaga banyak yang mengungsi," catat Yudakusuma. 

Panduan darurat menghadapi banjir lahar

"Ada nasihat orang-orang tua kepada anak cucunya demikian: kelak jika ada lahar, kamu jangan bingung, lebih baik tenang. Dengarkan dulu suara airnya, apakah berada di sebelah timur, barat, utara lurus, atau sudah berada di sebelah selatan," tulisnya.

Dia melanjutkan, "Jika suara gemuruh sudah berada di sebelah selatan, entah tenggara maupun barat daya, itu pertanda bahwa lahar sudah berlalu, sehingga tidak perlu mengungsi. Jika suara gemuruh berada di sebelah timur laut, harus mengungsi ke barat. Kalau suara gemuruh berasal dari arah barat laut, harus mengungsi ke timur. Kalau suara berada di sebelah utara tepat, harus mengungsi ke seberang selatan (Sungai Brantas)."

Jonkheer Teding van Berkhout meneliti aliran lahar di tanah miliknya setelah letusan Gunung Kelut beberapa waktu setelah erupsi 1901. (KITLV)

Namun, Yudakusuma mengungkapkan, apabila kita sulit menentukan arah datang suara gemuruh air, kemungkinan tempat kita masih aman. "Begitu juga kalau suara tidak karuan arah asalnya. Demikian itu kalau air kira-kira masih jauh."

Orang-orang tua berpesan, apabila air kian mendekat, sebaiknya mengungsi ke tempat-tempat terdekat tetapi posisinya lebih tinggi—seperti bukit atau desa-desa yang lebih aman. Mereka juga berpesan kepada anak cucu untuk lebih kenal dan memahami topografi di sekitar tempat tinggal.

Dia melanjutkan menulis, "Tetapi ingatlah, arahmu jangan sampai menuju ke sungai lahar yang terletak di sebelah utara dan sebelah barat kota, karena itu termasuk jalan lahar. Juga ingatlah apakah tempat yang engkau tempati itu termasuk tinggi atau rendah. Kalau tinggi, lebih baik jangan kau tinggalkan. Hanya memanjatlah pada pepohonan beserta anak istrimu. Jika rendah, segera tinggalkan tempat itu dan mengungsilah ke tempat di sekitar rumahmu yang termasuk tinggi." 

Baca Juga: Apakah Benar Letusan Tambora Penyebab Kekalahan Napoleon di Waterloo?

Namun, mereka juga mewanti-wanti apabila bahaya kian mendekat, ada panduan darurat untuk tetap selamat. Pun, tidak disarankan untuk mengungsi ke atap rumah karena lahar mampu menerjang pondasi rumah.

"Jangan sekali-kali naik ke atap atau bubungan rumah, sebab yang sudah-sudah jarang yang selamat. Kalau kamu akan berangkat mengungsi, padahal air sudah dekat atau sudah datang, jangan sekali-kali langkahmu kau lanjutkan. Segera memanjatlah pada apa pun yang ada di dekatmu, sebab hanya itu yang barangkali dapat menyelamatkan umurmu," tulis Yudakusuma. 

Pada kenyataannya, bagaimana warga Blitar menyelamatkan diri ketika bencana lahar Gunungapi Kelut mencapai permukiman mereka? Yudakusuma mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan merespons mitigasi saat bencana bagi orang asli Blitar dan pendatang.

"Orang-orang tua yang asli Blitar tidak begitu kebingungan dalam memilih tempat mengungsi," tulisnya. "Ada yang kemudian berlari menuju sebelah selatan sungai Brantas, ada yang kemudian pergi ke tempat-tempat yang tinggi, yang belum pernah dilalui lahar ..." 

Namun, orang-orang yang belum lama tinggal di Blitar, mereka umumnya kebingungan. Yudakusuma menulis, "Ada yang kemudian masuk ke dalam kamar kemudian dikunci rapat, ada yang masuk ke dalam almari atau peti, dan ada yang hanya berlarian tidak karuan arah sambil berkeluh-kesah. Ada lagi yang terpaku, tidak dapat bergerak."

 

Foto Gunung Kelut pasca-erupsi 1901 karya Ohannes Kurkdjian. (KITLV)

Jangan menggantungkan hayat pada situs keramat

Dia menambahkan, bagi orang-orang Blitar yang percaya kepada hal-hal keramat, biasanya mereka mengungsi ke permakaman atau kuburan. Pada peristiwa-peristiwa silam, umumnya mereka selamat. Namun pada letusan Kelut pada 1919, tidak sedikit mereka yang mengungsi ke permakaman justru turut hanyut dan menjumpai takdirnya. "Maka dari itu, jika kelak ada lahar lagi jangan begitu percaya [pada kekeramatan] makam atau kuburan," pesannya 

Setelah kehancuran, bagaimana kehidupan perlahan mulai bangkit? Kita juga mendapatkan pelajaran mitigasi pascabencana dalam urian Panjeblugipun Redi Kelut. Betapa pentingnya penanganan trauma psikologis setelah bencana, pencarian korban yang hilang, kewaspadaan untuk keamanan kota, perbaikan prasarana umum, dan dukungan masyarakat dari kota lain untuk meringankan beban korban.

Trauma pascabencana

Pengalaman menyaksikan derasnya aliran air yang telah menghancurkan segala sesuatu di jalurnya meninggalkan kesan yang sangat mendalam dan menakutkan bagi warga. Dayawiyata mengisahkan seorang nyonya Cina yang panik ketika menyaksikan meluapnya air selokan yang mencapai ke kampung Pecinan.

Baca Juga: Menjawab secara Ilmiah: Mengapa Ada Gunung Berapi dan Tidak Berapi?

"Seketika lalu menjerit-jerit minta tolong, mengira jika bencana lahar datang lagi," tulisnya. "Setelah para tetangganya mendengar jeritan nyonya Cina tersebut, semua kemudian ikut berteriak minta tolong seraya menceritakan kalau lahar datang lagi. Akhirnya gaduh, suara teriakan bersahutan semua berlarian pontang-panting tunggang langgang."

Kabar yang belum jelas kebenarannya itu begitu cepat menyebar sehingga membuat panik seisi kota, tidak hanya warga Bumiputra tetapi juga keluarga-keluarga Belanda, bahkan serdadu-serdadu KNIL yang lari tunggang langgang. Situasinya tidak jauh berbeda ketika bencana lahar datang tempo hari. "Oleh karena pemerintah mengetahui bahwa hal itu bukan apa-apa," tulis Dayawiyata, "maka segera memerintahkan kepada semua orang yang berlarian agar kembali ke tempat masing-masing."

Ekonomi rentan dan masalah keamanan 

Bencana sering kali menghancurkan mata pencaharian dan sumber penghidupan. Sebagian orang mungkin terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Saat bencana terjadi, keadaan cenderung kacau, dan banyak orang sibuk dengan proses evakuasi serta penyelamatan. Karena pengawasan terhadap barang-barang berharga sering kali berkurang, situasi ini menciptakan peluang bagi pelaku pencurian untuk melakukan tindakan kriminal.

Para pencuri memanfaatkan situasi trauma warga pascabencana. Yudakusuma mengungkapkan modus para pelaku pencurian di Kota Blitar, yang memanfaatkan aktivitas pembersihan selokan dengan air yang tampak menyerupai situasi aliran banjir. Mereka berlari sambil berteriak bahwa lahar datang kembali. Mereka berhasil menciptakan kepanikan, sehingga warga meninggalkan rumah atau dagangannya untuk menyelamatkan diri. Para pelaku pencurian pun menggasak harta warga dengan leluasa.   

Jembatan yang hancur di Kali Badak akibat letusan Gunung Kelud di Jawa Timur beberapa waktu setelah erupsi akbar Mei 1919. Sungai yang dilalui lahar pada saat erupsi dengan disertai hujan lebat adalah Kali Putih, Kali Badak, Kali Ngabo, Kali Sumber Agung dan Kali Srinjing. Semuanya terletak disisi barat dari Gunungapi Kelut. Foto karya Photografisch Atelier Promemoria. (KITLV)

"Tersebutlah perbuatan para bajingan, kesana-kemari cekatan dalam mengangkut uang yang ditinggal lari, bahkan ada yang memanggul bangkelan dan kain. Setelah mendapat banyak kemudian melarikan diri," Yudakusuma berkisah. "Lama-lama polisi mengetahui, kalau kekacauan tadi perbuatan orang ngutil seperti yang sudah-sudah, maka kemudian diawasi, yang jelas-jelas akan mencuri ditangkap dan dimasukkan penjara."

Dayawiayata juga mengungkapkan perkara serupa tentang keamanan Kota Blitar pascabencana. "Setelah meletusnya Gunung Kelut, orang-orang di Kota Blitar beramai-ramai membongkar semua kotoran di segala tempat, seperti: membersihkan jalanjalan, memperdalam parit-parit dan sebagainya," tulisnya. "Ketika itu banyak penjahat melakukan tindak kejahatannya. Seketika polisi kemudian dapat menangkap empat orang." 

Pencarian Korban

Korban-korban yang tertimbun lumpur dan berserak yang tidak segera dimakamkan dapat menjadi sumber penyebaran penyakit, terutama jika berada di lingkungan yang panas atau lembap. Selain itu menyaksikan jenazah korban yang berserakan dapat memperburuk trauma psikologis bagi warga yang selamat. Pemakaman segera membantu mengurangi dampaknya.

Baca Juga: Mengapa Mendaki Gunung Sangat Bermanfaat bagi Tubuh dan Otak Kita?

Yudakusuma menceritakan pemerintah Hindia Belanda mendatangkan ratusan serdadu KNIL dari daerah lain untuk membantu memberbaiki jalan dan selokan, serta mengumpulkan mayat yang tertimbun oleh endapan lahar. "Mayat-mayat tersebut dimuat di gerobak, dikubur di tempat yang tersisih. Menguburnya tidak seperti layaknya mengubur jenazah pada umumnya," tulisnya. "Mayat lima-enam dijadikan satu lubang, karena terlalu banyak."

Perbaikan prasarana transportasi publik

Ketika jalur transportasi rusak, banyak daerah yang menjadi terisolasi. Pemerintah segera memulihkan aksesbilitas dan mobilitas yang mendukung distribusi bantuan dan ekonomi daerah bencana. 

Yudakusuma mengungkapkan rel dan jembatan kereta api yang terdampak banjir lahar segera dibersihkan dan perbaiki oleh orang-orang dari Staatspoorwagen—perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial. Sementara itu serdadu-serdadu KNIL dari divisi zeni memperbaiki jembatan-jembatan yang rusah atau hanyut karena terjangan banjir lahar. "Oleh karenanya tidak sampai dua minggu juga sudah dapat dilalui seperti biasa." 

Perbaikan jembatan kereta api menghubungkan kembali kawasan bencana dengan kota-kota lainnya, sehingga mempermudah akses pelayanan kesehatan dan fasilitas lain yang dibutuhkan untuk pemulihan.

Jembatan kereta api di Kediri yang hancur akibat letusan Gunung Kelut di Jawa Timur pada 1919. Menurut catatan Yudakusuma, rel dan jembatan kereta api yang terdampak banjir lahar segera dibersihkan dan perbaiki oleh orang-orang dari Staatspoorwagen—perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial. Foto karya Photografisch Atelier Promemoria. (KITLV)

Mobilisasi paramedis

Dayawiyata mengungkapkan, "Para dokter juga banyak yang diperintahkan ke Blitar. Di tempat itu sampai dua belas hari, untuk mengobati orang-orang yang terluka. Diceritakan pada waktu itu rumah sakit, klinik, serta tempat praktik dokter di karesidenan Kediri penuh dengan orang yang menderita sakit."

Letusan gunung berapi sering menyebabkan cedera fisik, seperti luka bakar, patah tulang, atau gangguan pernapasan akibat abu vulkanik. Paramedis diperlukan untuk memberikan pertolongan pertama dan stabilisasi korban sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan. Selain menangani masalah fisik, paramedis juga memberikan dukungan psikologis kepada korban yang mengalami trauma akibat bencana.

Membangkitkan moral

"Ketika tuan Gubenur Jendral meninjau ke semua rumah sakit tersebut, tampak sekali rasa duka dan pilu hatinya, karena beratusratus orang laki-laki perempuan, tua muda, semua mengerang kesakitan menderita luka berbagai macam," tulis Dayawiyata.

Baca Juga: Bagaimana Proses Terbentuknya Gunung Berapi? Ada 3 Macam Cara

Dia menambahkan juga tentang kedatangan para ahli geologi di Hindia Belanda di lokasi bencana untuk memberi informasi status gunung sehingga turut menentramkan masyarakat. "Tuan Dr. Gpert, Dr. Kammerling, Dokter Wurth, serta Tuan Dr. Van Bemmelen pada tanggal 24 Mei 1919 naik ke Gunung Kelut untuk melihat kawah. Dari perkataan tuan-tuan tadi, Gunung Kelut sudah tidak mengkhawatirkan jika meletus lagi."

Kehadiran para pemimpin atau pemangku kebijakan akan memberikan rasa kehadiran negara atau pemerintah bagi masyarakat yang terdampak bencana. Kehadiran para pemimpim mampu meningkatkan rasa aman dan percaya bahwa pada pascabencana masyarakat tetap diperhatikan. Rasa empati dan kepedulian itu meningkatkan semangat warga untuk bertahan dan bangkit. 

Kerusakan di stasiun Blitar akibat letusan Gunung Kelud di Jawa Timur pada 1919. Kendati demikian, rel kembali bersih setelah pembersihan dan perbaikan selama dua minggu. (KITLV)

Penghimpunan dana bantuan

Setelah banjir surut, banyak orang dari luar daerah berdatangan ke kawasan bencana—baik Belanda, Cina, bangsawan, atau swasta. Setelah pulang, mereka membentuk perkumpulan atau "komite" untuk penggalangan dana. "Semua komite tersebut berusaha mencari sumbangan seikhlasnya kepada siapapun," tulis Dayawiyata. "Seberapapun perolehannya segera akan dikirimkan ke Blitar."

Setelah kabar bencana letusan Gunungapi Kelut tersiar ke penjuru Hindia Belanda, banyak masyarakat dari kota lain yang memberikan simpati mereka. Dayawiyata mengungkapkan bahwa hanya selama 40 hari setelah bencana—selama dia merampungkan kisah ini—bantuan dalam bentuk uang telah terkumpul lebih dari 290 ribu gulden—artinya, setara 40 kilogram emas!

Rumah Dr. Hamacker di Blitar setelah letusan Gunungapi Kelut pada Mei 1919. (KITLV)

Yudakusuma juga memerikan kabar serupa. "Perkumpulan itu semakin banyak hingga di berbagai tempat ada, tidak hanya di Jawa, di seluruh Hindia Belanda kemudian mendadak banyak," tulisnya. Dia juga menambahkan, "[...] Selain uang, ada juga pakaian dan pangan berupa: beras, jagung, ketela pohon, tembakau dan sebagainya. Benih ketela pohon dan ubi jalar juga ada beberapa delman yang dikirimkan ke Blitar." 

Penutup: Moral cerita dari bencana 

Gunungapi meletus, gempa bumi, longsor, sampai likuifaksi sejatinya gejala alam lumrah yang bermula sejak pembentukan Bumi. Aktivitas semacam ini telah menjadi bagian denyut Bumi sejak 4,5 miliar tahun silam. Lalu, sejak kapan fenomena alami itu mulai disebut sebagai bencana? Jawabnya, sejak peradaban manusia menjadi bagian Bumi.

Fenomena alami itu mulai disebut sebagai "bencana" ketika dampaknya mulai dirasakan secara signifikan oleh manusia—baik dalam bentuk kerugian jiwa, kerusakan harta benda, atau gangguan terhadap kehidupan sehari-hari. Namun, bencana sering kali menjadi titik balik dalam sejarah manusia, memaksa kita untuk beradaptasi dan mengembangkan teknologi baru.

Rumah asisten residen di Kediri yang rusak akibat letusan Gunung Kelud di Jawa Timur pada 1919. Foto karya Photografisch Atelier Promemoria. (KITLV)

Nenek moyang kita mewariskan kearifan dalam menyikapi bencana. Kearifan ini mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang lingkungan dan cara hidup yang selaras dengan alam. Bentuknya bisa berupa arsitektur tahan gempa, pengelolaan lingkungan, mitigasi bencana berbasis tradisi, dan sistem peringatan dini. Naskah Panjeblugipun Redi Kelut merupakan salah satu rekaman bencana pada era modern yang berpeluang dikembangkan sebagai pengetahuan dalam mitigasi bencana. 

Dalam konteks bencana gunung meletus, kebingungan dan kepanikan sering muncul sebagai respons emosional dan psikologis terhadap situasi yang tidak terduga dan berbahaya. Kepanikan lebih berbahaya daripada kebingungan sehingga mengelola kepanikan sangat penting dalam situasi darurat. Inilah sebabnya mengapa pelatihan tanggap darurat menekankan pentingnya tetap tenang untuk mengurangi risiko atas kepanikan.

Kaldera Gunung Kelut diabadikan melalui foto udara pada 1949. Didigitalisasi dalam rangka skema subsidi 'Warisan Perang Dunia II' dari Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga Belanda (VWS). (KITLV)

Kita berada di 'negeri bencana'—bukan sebuah ungkapan yang mengada-ada. Negeri ini berada di empat lempeng tektonik utama yang dinamis. Selain itu negeri ini berada di untaian Cincin Api, barisan gunungapi yang membentang dari kawasan barat hingga timurnya. Kedua aspek ini menyebabkan negeri ini memiliki aktivitas seismik yang tinggi. Iklim tropis juga menambah ancaman untuk bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang disebabkan oleh fenomena atmosfer dan kondisi cuaca ekstrem yang berkaitan dengan air—banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, dan gelombang pasang.

Catatan atau cerita bencana-bencana pada masa silam merupakan warisan pengetahuan yang boleh jadi terlewat bagi zaman modern—baik dari segi sains, budaya, maupun cara pandang kita terhadap hubungan manusia dengan alam. Warisan itu mengingatkan kita bahwa bencana adalah bagian dari perjalanan panjang umat manusia. Upaya melestarikan warisan pengetahuan tentang kebencanaan itu akan membantu kita dalam meningkatkan kesadaran global tentang pentingnya kesiapsiagaan, kolaborasi, dan solidaritas dalam menghadapi bencana.

Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens, pernah mengungkapkan perkara yang masih relevan sampai hari ini. "Ketika bencana terjadi, kaum miskin hampir selalu menderita jauh lebih parah daripada kaum kaya, bukan karena kaum kaya secara inheren jahat, tetapi karena kaum kaya memiliki lebih banyak sumber daya untuk melindungi diri mereka."