Nationalgeographic.co.id—Sebagian anak perempuan mungkin pernah berandai-andai menjadi putri duyung. Mereka berfantasi tentang kehidupan di lautan dan bagaimana rasanya berenang di dunia bawah laut mereka.
Namun tahukah Anda bahwa “putri duyung” ada di Pulau Jeju, di lepas pantai selatan Korea Selatan? Meskipun tidak seperti putri duyung dalam mitologi atau dongeng, mereka adalah komunitas wanita penyelam bebas yang disebut haenyeo—wanita laut.
Haenyeo berdoa kepada Jamsugut, dewi laut, sebelum setiap penyelaman. Melalui ritual perdukunan berupa lagu dan tarian, mereka memohon keselamatan saat menyelam dan tangkapan yang melimpah. Haenyeo adalah komunitas penyelam bebas wanita yang tinggal dan bekerja di Jeju. Karena para wanita muda memilih jalur karier yang berbeda, para haenyeo kini sebagian besar terdiri dari wanita yang lebih tua. Banyak di antaranya yang sudah memasuki usia senja.
Mereka menyelam hingga kedalaman 10 meter di bawah permukaan tanpa bantuan tabung udara atau peralatan selam modern. Saat menyelam, haenyoe bahkan tampak tidak menyadari air yang dingin dan angin laut yang sejuk. “Sebaliknya, mereka tampak menikmati diri mereka sendiri dan tawa mereka menular ke semua orang di pantai,” tulis Sarah Fuchs di laman Kyoto Journal.
Kisah ibu laut yang saling mendukung di Pulau Jeju
Catatan pertama tentang haenyeo berasal dari tahun 1629. Selama 350 tahun mereka biasa menyelam dengan mengenakan pakaian katun yang disebut mulsojungi. Baru pada tahun 1970-an, haenyeo mulai mengenakan pakaian selam karet seperti yang mereka kenakan saat ini.
Selama penyelaman, mereka mengumpulkan kerang, abalon dan bulu babi, rumput laut, dan makhluk laut lainnya untuk dijual sebagai makanan. Saat mengumpulkan buruannya, mereka menggunakan pisau atau bahkan tangan kosong.
Musim menyelam di Jeju pendek; para wanita hanya menyelam sekitar 90 hari dalam setahun. Mereka menyelam ke bawah permukaan selama beberapa menit, menempel pada pelampung oranye di permukaan. Mereka kemudian mengeluarkan suara siulan saat muncul kembali ke permukaan untuk memberi tahu keberadaan mereka kepada penyelam lain.

Dikenal sebagai “ibu laut” dan “prajurit melawan laut”, haenyeo secara tradisional dikategorikan menurut tiga tingkat pengalaman. Pertama adalah sanggun, yang paling berpengalaman. Kemudian diikuti oleh hagun dan junggun. Penyelam yang lebih ahli menawarkan bimbingan mereka kepada yang lain. Mereka mengajarkan teknik pernapasan penting kepada penyelam yang lebih muda, yang disebut sumbisori.
Haenyeo adalah teman seumur hidup. Mereka membagi hasil tangkapan secara merata. Selain itu, para haenyeo juga saling mendukung melalui tantangan hidup seperti kehamilan, penyakit, dan krisis apa pun.
Baca Juga: Kim Sisters, Grup K-Pop yang Mendunia dalam Sejarah Musik Korea
Status sosial haenyeo
Haenyeo memiliki status sosial yang tinggi di Korea Selatan yang patriarki. Namun tidak jelas mengapa penyelaman bebas menjadi profesi yang didominasi wanita di Jeju. Beberapa alasannya adalah kaum pria yang meninggal dalam kecelakaan penangkapan ikan di laut dalam atau perang. Kemudian juga ada alasan fisiologis, misalnya cadangan lemak wanita yang konon membuat mereka lebih tahan terhadap air dingin.
Secara historis, begitu banyak keluarga bergantung pada pendapatan haenyeo sehingga masyarakat semi-matriarki berkembang di Jeju. Bukan hal yang aneh bagi wanita untuk menjadi pencari nafkah utama. Sementara pria akan tinggal di rumah dan mengurus anak-anak. Karena itu, pembayaran mas kawin di Pulau Jeju diberikan kepada keluarga pengantin wanita, bukan kepada pengantin laki-laki. Tidak seperti keluarga di daratan Korea Selatan, keluarga di Jeju menginginkan kelahiran bayi perempuan, bukan laki-laki.
Kemunduran haenyeo
Dalam beberapa tahun terakhir, budaya haenyeo mengalami kemunduran. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya industrialisasi, pendidikan dan kesempatan kerja baru bagi anak perempuan. Juga degradasi lingkungan Pulau Jeju.
Pada tahun 2016, budaya haenyeo ditetapkan dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Alasannya adalah sejarahnya yang unik dan menurunnya jumlah penyelam wanita secara cepat. Statusnya yang meningkat karena pencantuman UNESCO telah menghasilkan industri pariwisata baru. “Juga peningkatan perlindungan dan pendanaan bagi para wanita di industri tersebut dan lingkungan alam pulau tersebut,” Fuchs menambahkan.
Pemerintah menyediakan layanan kesehatan gratis dan peralatan selam yang diperlukan. Selain itu, pemerintah pun membuka sekolah dan museum selam.
Status warisan baru ini membawa manfaat bagi masyarakat. Di sisi lain, status ini juga telah menjadikan para wanita sebagai “artefak hidup” yang melakukan pekerjaan mereka untuk para wisatawan. Kini, ada tempat-tempat di mana Anda dapat membayar untuk menyaksikan para wanita menyelam dan membeli hasil tangkapan mereka.
Efek samping dari “Unescoization,” istilah yang dicetuskan oleh antropolog David Berliner, adalah berkembangnya pariwisata yang intensif. Hal tersebut dapat menyebabkan tradisi dipentaskan atau direpresentasikan secara tidak akurat. Budaya menjadi produk yang dikonsumsi oleh khalayak global. Kehidupan sehari-hari penduduk lokal menjadi terfokus pada penyampaian apa yang disebut “pengalaman autentik”.
Rute antara Seoul dan Jeju merupakan rute penerbangan tersibuk di dunia pada tahun 2019. Lebih dari 17 juta kursi terjual pada 85.000 penerbangan. Meskipun ada banyak objek wisata di Jeju selain haenyeo, apa efek pariwisata terhadap budaya dan lingkungan alam di Pulau Jeju? Meningkatnya pariwisata di pulau tersebut telah menyebabkan masalah lalu lintas serta sampah di pantai dan taman nasional. Pulau Jeju pun mulai mengalami masalah air bersih.
Selain itu, meskipun ada upaya untuk melestarikan budaya haenyeo, jumlah penyelam wanita masih menurun. Pada puncaknya, terdapat 23.000 wanita yang bekerja di industri ini. Sementara saat ini terdapat sekitar 4.500 penyelam yang hanya 2.500 di antaranya bekerja penuh waktu. Pada tahun 2014, lebih dari 98% haenyeo berusia lebih dari 50 tahun.
Haenyeo adalah wanita yang luar biasa. Komitmen mereka terhadap satu sama lain, kecintaan terhadap laut, dan keberaniannya memberikan inspirasi. Ketika melihat haenyeo, Anda mungkin akan menyadari bahwa mereka jauh lebih baik dari putri duyung di dongeng dan mitos. Haenyeo adalah wanita yang nyata, pekerja keras, dan tangguh yang menentang ekspektasi sosial.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News: https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!