Nationalgeographic.co.id—Vanila adalah salah satu perisa paling populer dalam industri makanan dan minuman. Namun, beredar klaim mengejutkan bahwa senyawa perisa vanila pernah atau bahkan masih berasal dari castoreum, zat yang dihasilkan oleh kelenjar atau kantong sekresi yang terletak di dekat anus berang-berang.
Klaim ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana bahan-bahan “alami” dalam industri pangan sebenarnya berasal dari hewan, dan apakah castoreum benar-benar masih digunakan dalam produk vanila komersial?
Castoreum telah digunakan manusia selama lebih dari 2.000 tahun. Zat kental berwarna kuning ini dihasilkan dari kantung kastor berang-berang dan mengandung senyawa aromatik yang menyerupai vanilin, komponen utama dalam rasa vanila. Hal ini menimbulkan dugaan: apakah zat tersebut masih digunakan dalam makanan yang kita konsumsi hari ini?
Beberapa artikel berita dan influencer kuliner di media sosial menyatakan bahwa castoreum digunakan sebagai penyedap alami dalam berbagai produk, mulai dari es krim vanila hingga oatmeal rasa stroberi. Label “natural flavoring” pada kemasan dianggap menyamarkan asal-usul sebenarnya dari bahan tersebut.
Namun para ahli menegaskan bahwa informasi tersebut sangat menyesatkan. Meskipun castoreum memang pernah digunakan dalam pengobatan tradisional serta sebagai penyedap makanan dan parfum pada masa lampau, penggunaannya dalam industri pangan saat ini nyaris tidak ada.
“Zat ini sangat mahal karena langka dan sulit diperoleh. Tidak mungkin digunakan dalam es krim komersial,” jelas Michelle Francl, ahli kimia dari Bryn Mawr College yang meneliti sains di balik makanan.
Dari Mana Asal Perisa Vanila?
Menurut Francl, pada tahun 2020, dunia memproduksi sekitar 16 juta pon ekstrak vanila dari bunga vanilla orchid, berdasarkan data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Mayoritas perisa vanila yang kita temui berasal dari tanaman ini, atau dari sintesis vanilin berbasis lignin atau guaiacol, bukan dari hewan.
Meski begitu, castoreum masih digunakan dalam produk-produk yang sangat khusus, seperti bäversnaps, minuman keras asal Swedia.
Dalam bukunya Beavers: Ecology, Behaviour, Conservation, and Management (2022), Frank Rosell dan Róisín Campbell-Palmer mencatat bahwa total konsumsi castoreum, termasuk dalam bentuk ekstrak dan cairan, di Amerika Serikat tidak lebih dari 132 kilogram per tahun—jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan bahan penyedap lainnya.
Untuk mendapatkan castoreum, berang-berang harus diburu. Kelenjar kastor mereka dipotong, dikeringkan, dihancurkan, lalu direndam dalam alkohol untuk mengekstraksi zat tersebut—proses yang mirip dengan ekstraksi vanilin dari tanaman vanila.
Baca Juga: Perubahan Iklim Merusak Makanan Lebih Cepat, Ratusan Juta Jiwa Terancam
Dari Kelenjar Anal Berang-Berang ke Obat Tradisional
Selama ribuan tahun, manusia telah memanfaatkan castoreum sebagai obat untuk berbagai penyakit, mulai dari demam dan gangguan pencernaan hingga gangguan mental. Zat ini juga digunakan dalam sabun, krim kulit, bahkan pernah ditambahkan ke rokok untuk memperkuat aromanya. Hippocrates mencatat penggunaan medis castoreum sejak sekitar tahun 500 SM.
Pada masa Romawi, castoreum sudah menjadi bagian dari pharmacopeia, yaitu daftar bahan obat tradisional yang umum digunakan.
Popularitasnya sebagai bahan pengobatan kemungkinan besar berkaitan dengan kandungan kimianya. Castoreum mengandung lebih dari 75 senyawa kimia yang beragam. Di dalamnya terdapat asam salisilat—komponen aktif dalam aspirin yang berfungsi meredakan nyeri—serta asam lemak yang menyerupai kandungan dalam krim kulit mahal. Beberapa molekulnya bahkan mirip dengan vanilin alami dari anggrek vanila.
Sayangnya, permintaan terhadap castoreum turut mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap berang-berang dalam industri bulu. Di Eropa, populasi berang-berang hampir punah pada abad ke-16, sementara di Amerika Utara, situasi serupa terjadi pada abad ke-19 akibat perburuan intensif selama berabad-abad.
Fungsi Castoreum dalam Kehidupan Liar Berang-Berang
Dalam ekosistem, castoreum memiliki peran penting sebagai penanda wilayah. Berang-berang akan membangun gundukan lumpur dan meneteskan castoreum di atasnya untuk menandai batas kekuasaan mereka. Zat ini membantu menyebarkan aroma, menjaga kelembapannya agar tahan lama, dan melindungi baunya dari air yang naik.
Baik berang-berang jantan maupun betina memiliki kantung kastor, namun jantan dewasa lebih sering meninggalkan penanda aroma di jalur lalu lintas berang-berang lain—untuk menyampaikan pesan bahwa wilayah tersebut telah ditempati.
“Ketika saya mencium aroma castoreum di lapangan, saya tahu ada dua keluarga berang-berang yang sedang mempertahankan batas wilayah mereka,” ujar Róisín Campbell-Palmer dari Beaver Trust di Inggris.
“Baunya sangat khas—musky tapi manis. Bahkan jika Anda tidak melihat berang-berangnya, Anda tahu mereka ada di sana.”
Yang menarik, berang-berang juga dapat mengenali anggota keluarganya melalui aroma castoreum. Campbell-Palmer bahkan memanfaatkan hal ini untuk menangkap dan merelokasi satu keluarga berang-berang secara etis, dengan menggunakan aroma dari salah satu anggota keluarga sebagai umpan.
Baca Juga: Jangan Simpan Makanan Kaleng dalam Kondisi Terbuka di Kulkas
Kabar baiknya, populasi berang-berang kini menunjukkan tren pemulihan—baik di Inggris maupun Amerika Utara—berkat perlindungan habitat dan kebijakan pengendalian perburuan.
Apakah Sekresi Berang-Berang Aman Dikonsumsi?
Jika castoreum memang terkandung dalam makanan, Anda tidak perlu khawatir, kata Francl.
“Dalam konteks pangan, yang penting bukan asal zatnya, tetapi struktur molekulnya,” jelas Francl. “Tidak masalah apakah senyawa itu berasal dari beruang atau berang-berang—jika molekulnya sama, maka fungsinya juga sama.”
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengklasifikasikan castoreum sebagai zat yang generally recognized as safe (GRAS), atau secara umum dianggap aman. Selain itu, tinjauan keselamatan tahun 2007 yang diterbitkan dalam International Journal of Toxicology menyimpulkan bahwa penggunaan castoreum secara historis dalam makanan dan parfum tidak pernah menimbulkan laporan efek samping pada manusia.
“Saya bersedia mencobanya,” ujar Francl, sambil tersenyum. “Tapi mungkin bukan dalam bentuk es krim.”
---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.