Penemuan tersebut membawa dimensi yang sama sekali baru bagi pemahaman kita tentang praktik ritual Romawi.
Penemuan tersebut berjarak sekitar 50 meter dari lokasi kremasi terdekat di permakaman di lokasi kamp. Pemeriksaan zooarkeologi menunjukkan pola yang seragam: jumlah rahang bawah tiga kali lipat dari jumlah rahang atas. Sedangkan tulang babi lainnya atau sisa-sisa hewan lainnya tidak terlihat.
Tidak ada bukti babi-babi tersebut digunakan untuk memasak. Tidak ada hewan pengerat atau karnivora yang menggerogoti, dan tidak ada endapan abu yang menunjukkan kremasi. Ditemukan tanda-tanda potongan kecil menghiasi beberapa tulang. Tanda itu menjadi bukti bahwa hewan-hewan tersebut telah disembelih dan dikuliti, tetapi tidak dimakan.
Babi-babi tersebut, yang semuanya telah dijinakkan, berusia antara 6 dan 18 bulan, usia daging yang utama. Namun umur babi juga menyiratkan pilihan yang disengaja untuk ritual tersebut daripada pembuangan ternak atau kelebihan makanan.
Silicernium dan makanan suci orang mati
Jadi, apa yang disimpulkan dari semua ini?
Literatur Romawi kuno memberikan petunjuk. Penulis seperti Cicero, Varro, dan Apuleius merinci ritual pemakaman yang menampilkan babi. Terutama dalam upacara yang disebut silicernium. Silicernium adalah pesta yang diadakan di samping makam orang yang baru saja meninggal.
Menurut hukum Romawi, kuburan harus dibersihkan melalui pengurbanan hewan. Dan babi sangat dihargai baik sebagai sumber makanan maupun sebagai representasi kekuatan, kejantanan, dan kekuatan militer. Karena itu, babilah yang paling sering digunakan dalam ritual pemakaman prajurit romawi.
Dalam hal ini, rahang babi, komponen makhluk yang bersentuhan dengan altar atau pisau kurban, diberi muatan simbolis. Ritual Romawi sering kali memisahkan bagian yang “disentuh” secara ritual dari bagian yang dapat dimakan. Para pelayat mengonsumsi potongan daging yang lebih disukai. Sementara bagian yang bermakna secara ritual—seperti rahang—dianggap dekat dengan kuburan sebagai bagian dari praktik pembersihan.
Hal ini sangat sesuai dengan penemuan Legio: lubang rahang babi tampaknya merupakan sisa ritual silicernium atau cena novendialis. Cena novendialis adalah makan malam hari kesembilan yang mengakhiri periode berkabung resmi.
Ritual militer dan bukan tradisi masyarakat awam
Lubang Legio adalah pengecualian. Lubang itu adalah bukti awal dari pengurbanan babi yang hanya menggunakan rahang di permakaman tentara Romawi di provinsi timur. Lubang itu menunjukkan bahwa ritual tersebut memiliki karakter legiuner, bukan bagian dari tradisi sipil atau lokal yang lebih luas.