Nationalgeographic.co.id—Lapisan es laut Antarktika mencatat rekor terendah dalam sejarah pengamatan satelit selama 47 tahun terakhir akibat perubahan iklim. Perubahan tersebut seiring suhu global yang terus melonjak dan melampaui batas aman yang disepakati dalam Perjanjian Paris.
Data terbaru dari Copernicus Climate Change Service menunjukkan bahwa cakupan maksimum es laut pada Maret 2025 menyusut drastis, hanya 6 persen di bawah rata-rata, menjadikannya titik terendah sejak pemantauan dimulai. Tren ini tak hanya mengancam kehidupan di kutub, tapi juga mempercepat laju pemanasan global akibat berkurangnya kemampuan permukaan laut memantulkan panas matahari.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa lapisan es di Kutub Utara bisa turun di bawah ambang batas krusial paling cepat pada tahun 2027, dan hal itu pasti akan terjadi dalam 20 tahun ke depan jika emisi gas rumah kaca terus berlanjut.
Menurut Copernicus Climate Change Service, kondisi tersebut sekaligus menjadi bulan Maret terpanas yang pernah tercatat di Eropa. Data terbaru menunjukkan bahwa cakupan es laut di kutub utara dan selatan menyusut drastis, seiring suhu global yang terus melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahrenheit), yang menjadi target ideal dalam Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim. Perjanjian ini diadopsi oleh 195 Pihak di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) di Paris, Prancis, pada 12 Desember 2015. Perjanjian ini mulai berlaku pada 4 November 2016.
Tujuan utamanya adalah untuk menahan "peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri" dan melakukan upaya "untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri."
Perjanjian yang disepakati pada 2015 itu menargetkan untuk membatasi pemanasan global, namun Bumi kini secara konsisten melampaui batas tersebut.
Maret 2025 menjadi bulan ke-20 dari 21 bulan terakhir yang menembus ambang batas aman itu. Secara alami, cakupan es laut Arktik mencapai titik maksimum setiap bulan Maret. Namun laporan Copernicus menunjukkan bahwa pada 2025, cakupan maksimum itu merupakan yang terendah dalam sejarah.
Temuan ini sejalan dengan laporan terbaru NASA dan memperkuat kekhawatiran akan tren kenaikan suhu global yang semakin nyata. Cakupan es laut tercatat 6 persen lebih rendah dibandingkan rata-rata, menjadikannya luas es laut bulan Maret terendah selama hampir lima dekade terakhir.
Copernicus juga mencatat bahwa suhu global bulan Maret 2025 rata-rata 1,6 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan era praindustri (perkiraan antara 1850–1900).
Penyusutan es laut berdampak besar terhadap komunitas manusia dan satwa liar yang bergantung pada es untuk bertahan hidup. Selain itu, hilangnya es mempercepat laju pemanasan global. Permukaan laut yang terbuka akibat mencairnya es menyerap lebih banyak panas matahari dibandingkan es itu sendiri yang biasanya memantulkannya, sehingga mempercepat pemanasan bumi.
Baca Juga: Sungai Tersembunyi di Antarktika Jadi Kunci Merespon Krisis Iklim