Dendam pribadi atau politik
Hingga saat ini, belum ada profil psikologis yang pasti untuk menggambarkan lone wolf. Meskipun begitu, Clark McCauley, profesor psikologi di Bryn Mawr College menjelaskan beberapa ciri umum yang biasanya dimiliki oleh lone wolf.
Menurut McCaulay, teroris lone wolf biasanya memiliki dendam pribadi atau politik. Menganggap bahwa sebuah keputusan atau kebijakan merugikan dirinya dan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah Ted Kaczynski. Pria yang dikenal sebagai ‘Unabomber’ ini, melakukan pengeboman dengan menargetkan mereka yang terlibat dalam perkembangan teknologi modern. Ted merasa, teknologi telah merusak lingkungan dan kemanusiaan.
Sementara, Suliyono, pelaku penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Yogyakarta pada Februari lalu, diduga melancarkan aksinya karena terpengaruh radikalisme dan menyerang orang-orang yang dianggap kafir. "Dia pernah mencoba membuat paspor untuk berangkat ke Suriah, tapi tidak berhasil. Akhirnya, dia menyerang 'kafir' versi dia," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Selain itu, lone wolf melihat aksi penyerangan sebagai tiket untuk memperoleh cinta atau atau rasa hormat.
Gangguan mental
McCaulay menambahkan, ada juga kemungkinan lone wolf mengalami ‘unfrozen’. Yakni, istilah psikologi untuk menggambarkan proses putusnya hubungan dengan orang terdekat, pekerjaan, dan kegiatan sehari-hari. Ini membuat mereka tidak memiliki pengalihan dari radikalisasi.
Dr. Ramon Spaaij, sosiolog di Victoria University, menemukan adanya gangguan kepribadian dan depresi yang tinggi pada 88 teroris lone wolf di 15 negara.
Dari tiga studi yang diteliti, salah satunya menunjukkan bahwa banyak teroris lone wolf yang memiliki: gangguan mental, masalah dengan pekerjaan, tingkat stres yang tinggi, hubungan tidak akur dengan pasangan, gagap sosial, kekerasan verbal, dan intelejensi yang tinggi.
(Baca juga: 7 Kebiasaan Buruk yang Membuat Anda Rentan Alami Gangguan Mental)
Beberapa teroris lone wolf juga mengalami kesulitan untuk ‘berfungsi’ dengan normal di kehidupan sehari-hari, serta tidak bisa menjaga hubungan yang sehat.
Jika seseorang gagal membangun hubungan interpersonal yang baik, maka empati kepada orang lain sulit terbangun. Tanpa empati, seseorang tidak memiliki ‘penghambat’ untuk mencegahnya melukai dan melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Meskipun begitu, dr. Spaaij menekankan bahwa gangguan mental bukan penyebab tunggal seseorang melakukan penyerangan. Itu hanyalah salah satu faktor.