Minggu (13/5/2018), Indonesia dikejutkan dengan serangkaian ledakan yang terjadi di tiga area Gereja di Surabaya, yakni, Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela (Jalan Ngagel), GKI (Jalan Diponegoro), dan Gereja Pantekosta (Jalan Arjuna).
Peristiwa terkait ledakan bom juga terjadi kembali di hari yang sama, yakni di rusunawa Wonocolo Sidoarjo.
Tidak berhenti sampai di situ, ledakan kembali terjadi di Mapolrestabes Surabaya pada hari ini, Senin (14/5/2018), ketika seseorang dengan mengendarai sepeda motor mencoba masuk dan dihentikan di gerbang pintu masuk.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Frans Barung Mangera, pada hari Senin (14/5/2018) mengatakan bahwa jumlah korban meninggal atas rangkaian peristiwa ini—belum termasuk ledakan di Mapolrestabes Surabaya—adalah sebanyak 17 orang.
Menurut Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dalam konferensi pers di Surabaya, pada hari Minggu (13/5/2018), beberapa kasus bom dan "dalang" kasus-kasus di Indonesia telah diproses. Walau demikian, para pemimpin mereka di lapangan telah digantikan.
Atas penangkapan para pemimpin kelompok tersebut, menurut Tito, mereka melakukan aksi pembalasan salah satunya dengan kerusuhan di Mako Brimob.
Terkait rentetan peristiwa ini, sejumlah media dengan narasumbernya kembali mencuatkan istilah lone wolf untuk para pelaku terduga teroris.
(Baca juga: ISIS Mulai Tanamkan Pengaruh di Indonesia)
Si penyerang solo
Istilah lone wolf pertama kali dipopulerkan oleh advokat supremasi, Alex Curtis dan Tom Metzger pada 1990-an. Metzger menggambarkan lone wolf sebagai “pejuang yang beraksi sendirian atau seseorang dalam kelompok kecil yang menyerang dan menargetkan pemerintahan”.
Brian Michael Jenkins, ahli terorisme dari RAND Corporation, lebih senang menggunakan istilah ‘anjing tersesat’ dibanding ‘serigala tunggal’. Menurut Jenkins, kebanyakan individu lone wolf melakukan kekerasan dengan berani tanpa rencana cadangan. Meskipun ia tampaknya beraksi sendiri, namun sering ditemukan kaitan dengan organisasi teroris.
Secara umum, istilah lone wolf digunakan untuk membedakan serangan yang dilakukan oleh individu dengan yang terkordinasi dalam kelompok besar. Serangan teroris yang dilakukan secara berkelompok – meskipun jumlahnya kecil – tidak bisa disebut lone wolf.
Menurut beberapa studi, lone wolf lebih memiliki kesamaan dengan pembunuh berantai dibanding kelompok teroris yang sering menginspirasi mereka.
Meskipun serangan lone wolf dilakukan untuk memajukan keyakinan dan filosofi kelompok ekstremis, namun ia beraksi sendiri tanpa perintah atau arahan dari orang lain. Taktik dan metode penyerangannya pun disusun sendiri.
(Baca juga: Bagaimana Rasanya Jadi "Istri Teroris"?)
Menurut Curtis, lone wolf bahkan tidak memiliki kontak sama sekali dengan kelompok ekstremis yang diidolakannya. Inilah yang membuatnya lebih sulit ditangkap. Para penegak hukum tidak menyadari keberadaannya. Karena tidak tergabung dengan kelompok teroris mana pun, komunikasi dan gerak-gerik lone wolf tidak terpantau.
Dendam pribadi atau politik
Hingga saat ini, belum ada profil psikologis yang pasti untuk menggambarkan lone wolf. Meskipun begitu, Clark McCauley, profesor psikologi di Bryn Mawr College menjelaskan beberapa ciri umum yang biasanya dimiliki oleh lone wolf.
Menurut McCaulay, teroris lone wolf biasanya memiliki dendam pribadi atau politik. Menganggap bahwa sebuah keputusan atau kebijakan merugikan dirinya dan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah Ted Kaczynski. Pria yang dikenal sebagai ‘Unabomber’ ini, melakukan pengeboman dengan menargetkan mereka yang terlibat dalam perkembangan teknologi modern. Ted merasa, teknologi telah merusak lingkungan dan kemanusiaan.
Sementara, Suliyono, pelaku penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Yogyakarta pada Februari lalu, diduga melancarkan aksinya karena terpengaruh radikalisme dan menyerang orang-orang yang dianggap kafir. "Dia pernah mencoba membuat paspor untuk berangkat ke Suriah, tapi tidak berhasil. Akhirnya, dia menyerang 'kafir' versi dia," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Selain itu, lone wolf melihat aksi penyerangan sebagai tiket untuk memperoleh cinta atau atau rasa hormat.
Gangguan mental
McCaulay menambahkan, ada juga kemungkinan lone wolf mengalami ‘unfrozen’. Yakni, istilah psikologi untuk menggambarkan proses putusnya hubungan dengan orang terdekat, pekerjaan, dan kegiatan sehari-hari. Ini membuat mereka tidak memiliki pengalihan dari radikalisasi.
Dr. Ramon Spaaij, sosiolog di Victoria University, menemukan adanya gangguan kepribadian dan depresi yang tinggi pada 88 teroris lone wolf di 15 negara.
Dari tiga studi yang diteliti, salah satunya menunjukkan bahwa banyak teroris lone wolf yang memiliki: gangguan mental, masalah dengan pekerjaan, tingkat stres yang tinggi, hubungan tidak akur dengan pasangan, gagap sosial, kekerasan verbal, dan intelejensi yang tinggi.
(Baca juga: 7 Kebiasaan Buruk yang Membuat Anda Rentan Alami Gangguan Mental)
Beberapa teroris lone wolf juga mengalami kesulitan untuk ‘berfungsi’ dengan normal di kehidupan sehari-hari, serta tidak bisa menjaga hubungan yang sehat.
Jika seseorang gagal membangun hubungan interpersonal yang baik, maka empati kepada orang lain sulit terbangun. Tanpa empati, seseorang tidak memiliki ‘penghambat’ untuk mencegahnya melukai dan melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Meskipun begitu, dr. Spaaij menekankan bahwa gangguan mental bukan penyebab tunggal seseorang melakukan penyerangan. Itu hanyalah salah satu faktor.