Analisis DNA Kuno Ungkap Tiga Gelombang Migrasi Besar di Asia Tenggara

By Lutfi Fauziah, Jumat, 18 Mei 2018 | 11:37 WIB
Sebuah patung menampilkan wajah Homo floresiensis, manusia purba yang hidup di Flores, Indonesia, sekitar 12.000 tahun silam. (B CHRISTOPHER, ALAMY)

Untuk pertama kalinya, para ilmuwan berhasil melakukan analisis genom utuh DNA manusia purba pertama dari Asia Tenggara. Analisis ini mengungkap bahwa setidaknya ada tiga gelombang besar migrasi manusia ke wilayah tersebut selama 50.000 tahun terakhir.

Studi yang diterbitkan di jurnal Science tanggal 17 Mei itu melengkapi apa yang selama ini diketahui dari studi arkeologi, sejarah, dan linguistik Asia Tenggara.

“Bagian dunia yang sangat penting kini dapat diakses untuk analisis DNA kuno. Hal itu membuka jendela ke asal-usul genetik dari orang-orang yang tinggal di sana pada masa lalu dan saat ini,” kata Mark Lipson, penulis utama studi yang juga peneliti lab spesialis DNA kuno di Harvard Medical School (HMS).

Tim internasional yang dipimpin oleh para peneliti HMS dan University of Vienna mengekstrak dan menganalisis DNA dari sisa kerangka 18 manusia purba yang hidup sekitar 4.100 dan 1.700 tahun silam di wilayah yang kini dikenal sebagai Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Kamboja.

Baca juga:

Arkeolog Temukan Bukti Ritual Pengorbanan Anak Terbesar di Peru

Para peneliti menemukan bahwa migrasi pertama terjadi sekitar 45.000 tahun lalu, membawa masuk orang-orang yang kemudian menjadi pemburu-pengumpul.

Kemudian, selama Periode Neolitik, sekitar 4.500 tahun lalu, ada arus besar masuknya orang-orang dari Cina yang memperkenalkan praktik pertanian ke Asia Tenggara, dan berbaur dengan para pemburu-pengumpul lokal.

Orang-orang masa kini yang merupakan keturunan campuran leluhur ini cenderung berbicara bahasa Austroasiatik. Hal ini membuat para periset berpikir bahwa petani yang datang dari utara merupakan penutur Austroasiatik awal.

Pekerja lapangan menggali sisa-sisa manusia purba di Man Bac, Vietnam, pada tahun 2007. DNA dari ker (Lorna Tilley, Australian National University)

“Studi ini mengungap interaksi kompleks antara arkeologi, genetika, dan bahasa, yang sangat penting untuk memahami sejarah populasi Asia Tenggara,” ujar rekan penulis senior, Ron Pinhasi, dari Unviersity of Vienna.

Gelombang migrasi berikutnya terjadi selama Zaman Perunggu, lagi-lagi dari Cina, tiba di Myanmar sekitar 3.000 tahun lalu, di Vietnam pada 2.000 tahun lalu, dan di Thailand dalam 1.000 tahun terakhir. Pergerakan-pergerakan ini memperkanalkan tipe leluhur yang saat ini terkait dengan penutur bahasa yang berbeda.

Baca juga:

Lempeng Tanah Liat Berusia 3.250 Tahun Ungkap Lokasi Kota Kuno Mardama

Identifikasi tiga populasi leluhur—pemburu-pengumpul, petani awal, dan migran Zaman Perunggu—juga menggemakan pola yang pertama kali terungkap pada studi DNA kuno orang Eropa, tapi dengan satu perbedaan besar: Banyak keragaman leluhur di Eropa telah memudar seiring waktu ketika populasi berbaur, sementara populasi Asia Tenggara memiliki variasi yang jauh lebih banyak.

“Orang-orang yang hampir keturunan langsung dari masing-masing populasi masih tinggal di wilayah Asia Tenggara saat ini, termasuk orang-orang keturunan pemburu-pengumpul yang banyak tinggal di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Kepulauan Andaman,” kata David Reich, rekan penulis studi yang merupakan profesor genetika di HMS.

“Sementara di Eropa, tidak ada penduduk saat ini yang memiliki  lebih dari potongan kecil DNA dari leluhur pemburu-pengumpul Eropa,” tambahnya.

Menurut hipotesis Reich, tingginya keragaman genetika di Asia Tenggara saat ini sebagian bisa dijelaskan oleh fakta bahwa petani datang jauh lebih baru (sekitar 4.500 tahun silam) dibandingkan dengan Eropa (sekitar 8.000 tahun lalu).  Hal ini menyebabkan populasi di Asia Tenggara memiliki waktu lebih sedikit untuk berbaur dan meratakan variasi genetic.

Di luar dugaan, terdapat implikasi linguistik yang muncul pada hasil analisis terhadap nenek moyang penduduk Indonesia bagian barat.

“Bukti-bukti menunjukkan bahwa petani awal di Indonesia barat cenderung berbicara bahasa Austroasiatik ketimbang bahasa Austronesia yang saat ini digunakan,” ujar Reich. “Dengan demikian, bahasa Austronesia kemungkinan datang lebih lambat.”

“Sampel-sampel tambahan dari Indonesia barat sebelum dan sesudah 4.000 tahun lalu tentu dapat menjelaskan lebih lanjut,” pungkasnya.