Belajar Sekaligus Mencicipi Makanan Peranakan di Bulan Ramadan

By Agung Adytia Pratama Putra, Senin, 21 Mei 2018 | 12:40 WIB
Suasana diskusi dalam acara Kuliner Peranakan x Betawi Lawas. (Agung Adytia Pratama Putra)

Rasanya tidak ada yang tidak setuju jika akhir pekan dijadikan sebagai hari yang tepat untuk memanjakan mulut dan perut dengan sajian kuliner. Terlebih bila dilakukan saat berbuka puasa.

Berbagai kuliner "kekinian" yang sedang melejit akhir-akhir ini pada generasi milineal, tetap belum bisa mengalahkan kelezatan makanan asal kuliner peranakan—khususnya betawi lawas—bagi sebagian orang.

Baca juga: Karena UFO, NASA Ajak Pria Asal Surabaya Ikuti Pelatihan Hidup di Mars

Hal di atas sejalan dengan gelaran Talkshow dan Buka Puasa Bersama “Kuliner Peranakan x Betawi Lawas” yang diadakan di Kedai Sirih Merah, Jakarta Pusat, pada hari Sabtu (19/8/2018). Ramainya tamu yang hadir dalam gelaran tersebut membuat kedai sederahana ini terasa hangat dan menyenangkan.

Gelaran yang diadakan oleh KompasTravel ini—disebut dengan Weekender—bekerja sama dengan Kedai Sirih Merah.

Dua orang narasumber pun turut diundang sebagai pemantik talkshow. Mereka adalah Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa dan Aji ‘Chen’ Bromokusumo, anggota Kajian dan Pelestarian Budaya Aspertina (Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia).

Dalam keterangannya, Aji Chen hanya mengangkat satu resep bahan makanan saja, yaitu mi. “Alasannya sederhana, karena mi adalah pemersatu umat manusia. Manusia itu diciptakan berbeda, etnisnya pun berbeda. Tidak pernah ada yang nanya ini mi agamanya apa? Atau ini mi etnisnya apa?” jelas Aji Chen yang menggelakkan pengunjung.

Sementara itu, dari banyaknya resep peranakan Tionghoa, resep yang diperagakan secara langsung, salah satunya adalah resep memasak Misua Teng. Peragaan memasak ini dilakukan oleh kepala koki Kedai Sirih Merah.

Misua Teng merupakan salah satu resep dari "Boekoe Masakan Betawi, Tionghoa, Ollanda, Djawa, dan Melajoe" yang terbit pada tahun 1915.

Peragaan memasak yang mengundang antusias pengunjung. (Agung Adytia Pratama Putra)

“Keberagaman makanan justru memperkaya, keberagaman bukan untuk saling meniadakan. Kalau dari awal sudah intoleransi, tidak akan enak.”, tambah Azmi Abubakar. Memang, banyak kuliner peranakan yang terjadi karena akulturasi. Salah satu contohnya, adalah lumpia khas Semarang.

Baca juga: Inilah Risiko Kesehatan Akibat Berbuka Puasa dengan Gorengan

Antusias peserta yang hadir pun tidak hanya terlihat dari sesi tanya jawab atau pun ketika ramai-ramai melihat demo memasak. Antusias peserta terlihat ketika mereka diberi kesempatan untuk mencicip kuliner peranakan. Tidak heran bila hampir semua pengunjung hanya menyisakan piring dan alat makannya saja.