Propaganda Teroris Meradikalisasi Perempuan, Bagaimana Prosesnya?

By Gregorius Bhisma Adinaya, Sabtu, 30 Juni 2018 | 15:56 WIB
Suasana setelah ledakan bom di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Minggu (13/5/2018). (Garry Andrew Lotulung)

Keluarga yang menjadi radikal

Keterlibatan perempuan dalam serangan bom bunuh diri, di mana pelaku menyebutnya ‘amaliyah (pengorbanan atau serangan bunuh diri), bukan fenomena yang betul-betul baru di Indonesia. Pada 2016, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan munculnya calon pengebom bunuh diri perempuan, Dian Yulia Novi.

Dalam sebuah wawancara, Novi mengatakan ia terinspirasi status Facebook ulama ekstrim dan pejuang ISIS. Pernikahannya dengan M. Nur Solihin, anggota sel militan lokal yang terinspirasi ISIS, bahkan bertujuan menyiapkannya melakukan bom bunuh diri di istana presiden di Jakarta. Namun, rencana tersebut gagal.

Baca juga: Video: Gagal Dideteksi NASA, Asteroid Sebesar 4 Meter Meledak di Rusia

Rangkaian ledakan yang terbaru di Jawa Timur mengambil arah yang beda, terutama dengan keterlibatan anak-anak. Pelaku pengeboman tiga gereja di Surabaya adalah Dita Oepriarto, Puji Kuswati dan empat enak mereka, yang terkecil berumur sembilan tahun. Seluruh keluarga tersebut tewas, juga 12 korban lainnya.

Pada hari yang sama, di Sidoarjo sebuah bom meledak prematur di rumah susun. Orang tua dan satu dari tiga anak mereka tewas.

Sehari sesudahnya, Tri Murtiono, Tri Ernawati dan ketiga anak mereka meledakkan diri di markas Kepolisian Surabaya. Seluruh keluarga tewas kecuali satu anak perempuan.

Mengapa perempuan menjadi teroris

Menurut para ahli, ada beragam motif yang mendorong keterlibatan perempuan dalam kelompok teroris. Ideologi adalah motif yang paling penting. Menurut pengikut ISIS, Muslim sejati harus mengikuti panggilan pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi pindah ke Syria untuk membangun dan mengembangkan wilayah ISIS. Mereka membutuhkan perempuan sebagai istri dan ibu untuk melahirkan generasi penerus mereka.

Keluarga pelaku bom bunuh diri di tiga gereja ()

Motif penting lainnya adalah kekecewaan para perempuan ini terhadap kondisi di tanah air mereka. Kemampuan ISIS dalam menciptakan propaganda, melalui beragam media, terutama media sosial dan permainan video, meyakinkan beberapa perempuan Muslim untuk bermigrasi ke wilayah ISIS demi hidup yang lebih baik di bawah naungan daulah Islamiyah (negara Islam). Namun, banyak yang pada akhirnya kecewa, terutama setelah melihat dan mengalami secara langsung kekerasan ISIS dan janji yang tidak mereka tepati.

Bahaya keberadaan pengikut ISIS yang kembali ke tanah air mereka sering disorot. Namun, banyak yang berpendapat bahwa mereka yang telah teradikalisasi dan menyatakan menjadi pengikut setia ISIS tapi tidak dapat pergi ke wilayah tersebut karena larangan global bepergian ke wilayah ISIS bisa lebih berbahaya. Hal ini menjadi masalah besar bagi aparat keamanan tidak hanya di Indonesia tapi juga di banyak negara Barat.