Propaganda Teroris Meradikalisasi Perempuan, Bagaimana Prosesnya?

By Gregorius Bhisma Adinaya, Sabtu, 30 Juni 2018 | 15:56 WIB
Suasana setelah ledakan bom di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Minggu (13/5/2018). (Garry Andrew Lotulung)

Baca juga: Negara-negara di Dunia yang Paling Aman untuk Dikunjungi

Bahwa perempuan yang teradikalisasi tidak dapat bergabung dengan Brigade al Khansaa, milisi perempuan ISIS yang didirikan pada 2014 dan beroperasi di Irak dan Suriah, tidak berarti mereka tidak dapat melakukan serangan mematikan untuk mendukung misi ISIS.

Martir perempuan

Elit dari berbagai kelompok teroris sering menyebutkan bahwa melibatkan perempuan seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam kasus “darurat”, termasuk kurangnya pejuang laki-laki. Maka, tidak mengherankan jika kondisi ISIS saat ini, yang telah kehilangan pengaruh di berbagai wilayah di Irak dan Suriah, mendorong elit ISIS untuk menyerukan lebih banyak keterlibatan perempuan dalam berbagai misi mereka.

Di Indonesia, pemenjaraan teroris yang berafiliasi dengan berbagai kelompok teroris, termasuk ISIS, mendorong pemimpin teroris lokal untuk menyerukan keterlibatan perempuan yang lebih aktif. Mereka meyakini potensi keberhasilan aksi teroris yang melibatkan perempuan karena perempuan jarang dicurigai dan terdeteksi sebagai teroris.

Sejalan dengan ini, pejuang perempuan dan pelaku serangan bom bunuh diri memiliki keyakinan kuat terhadap posisi luar biasa seorang syahid (martir). Termasuk dalam keyakinan ini adalah kesucian martir membuat mereka dapat dikubur langsung dengan pakaian mereka, tanpa dimandikan, dan bahwa mereka akan diberikan posisi tertinggi dekat dengan singgasana Sang Pencipta.

Baca juga: 'Menara Tengkorak' Ungkap Kekejian Ritual Pengorbanan Manusia di Aztec

Selain itu, mereka juga percaya kesuksesan membesarkan anak-anak mereka menjadi pejuang (mujahidin untuk laki-laki dan muhajidat untuk perempuan) adalah sebuah garansi untuk mendapatkan bagian dari pahala anak-anak mereka.

Pada 2010, ketika melakukan riset terhadap perempuan dalam jaringan teroris di Indonesia, salah satu dari kami bertemu seorang perempuan yang memanggil dirinya Umm Mujahid (ibu pejuang laki-laki). Ditanya alasannya, ia menjawab:

Saya ingin panggilan saya ini menjadi doa. Saya berharap putra saya menjadi mujahid di masa depan, sehingga ia bisa membawa saya ke surga Sang Pencipta.

Ideologi semacam ini telah terpatri ke dalam hati dan pikiran perempuan yang teradikalisasi. Karena itu, tidak mengherankan jika pengeboman di Indonesia mulai melibatkan perempuan dan anak-anak.

Penulis: Eva Nisa, Lecturer in Religious Studies, Victoria University of Wellington dan Faried F. Saenong, JD Stout Research Centre for New Zealand Studies (VUW), Victoria University of Wellington

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.