Kekuatan Para Pemain Debus di Indonesia: Setara dengan Paku dan Parang

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 4 Juli 2018 | 16:48 WIB
Mulyadi, pemain debus, menunjukkan aksinya memakan paku. (AFP)

Mulyadi menancapkan paku ke lubang hidung dan membiarkannya melekat di sana. Ia adalah salah satu pemain debus, tradisi Indonesia yang memadukan seni bela diri dengan melukai tubuh.

Meskipun para penontonnya sudah tampak puas, namun tidak dengan Mulyadi.

Saat musik drum dan suling dimainkan sebagai latar belakang musik, Mulyadi menunjukkan semangkuk paku, memasukkannya ke mulut, dan menelan benda tajam tersebut dengan cepat.

Baca juga: Ketika Tubuh Manusia Dijadikan Kanvas di World Bodypainting Festival

Setelah selesai, pria berusia 50 tahun ini, membuka mulut dan menjulurkan lidahnya, menunjukkan kepada penonton bahwa tidak ada paku yang tersisa.

“Debus itu nyata, dengan darah dan golok sungguhan. Tidak ada trik,” kata Mulyadi.

Ia menolak menjelaskan bagaimana tubuhnya bisa kebal terhadap tusukkan benda tajam. Mulyadi menyebutnya sebagai ‘rahasia’.

“Paku mungkin bisa keluar dari tubuh saya dalam beberapa hari, tapi bisa juga tetap berada di dalam sana. Tergantung mood saya,” imbuhnya sambil tertawa.

Debus diperkirakan muncul di Indonesia di abad ke-16 pada masa pemerintahan sultan pertama kerajaan Banten.

Sangat ekstrem

Pernah menjadi penampilan favorit di setiap perayaan pernikahan dan khitanan, debus dimulai dengan gerakan bela diri dan doa meminta perlindungan agar tidak terluka.

Ahli debus, Aris Afandi, merasakan sendiri khasiat doa ketika ia melukai tangan lawannya dengan parang. Saat menyeka darah di lengan lawannya itu, ia membaca doa, dan lukanya tampak tidak terlalu parah.

“Ketika melantunkan doa, tubuh kita diselimuti dengan kekuatan tak terlihat, energi halus yang memberi kita perlindungan,” katanya kepada AFP di pusat pelatihan debus di Bandung.

Ahli debus, Aris Afandi. (AFP)

Selain menelan paku, pemain debus lainnya juga meletakkan bor listrik di dalam mulutnya. Sementara yang lainnya berjalan pada bambu duri sebelum berguling di atasnya.

Para penonton tidak yakin harus memfoto pertunjukkan tersebut atau mengalihkan pandangan.

“Saya merinding. Itu sangat ekstrem.,” ujar Rohana Rosdiani, penonton debus berusia 37 tahun.

“Mereka memakan paku dan mengebor perut seolah-olah sedang membangun rumah. Saya bisa membayangkan betapa sakitnya itu saat mengenai kulit, apalagi mereka menusuknya berkali-kali,” tambahnya.

Menarik minat

Pemerintah provinsi Banten sedang mencoba menghidupkan kembali minat masyarakat pada tradisi yang sudah memudar ini.

Tahun lalu, Banten berhasil menyelenggarakan acara dengan partisipasi dari lima ribu pemain debus. Namun, masa depan debus tidak terjamin. Bayaran yang buruk menghalangi orang-orang memilih profesi ini.

“Petarung yang ada saat ini bertahan karena passion. Anda tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup hanya dari debus,” kata Afandi.  

Baca juga: Di Desa Kecil Ini, Buaya Dianggap Seperti Leluhur Manusia

Beberapa ulama muslim mengatakan bahwa tradisi ini haram dan dilarang agama karena percaya pada kekuatan supranatural.

Beberapa pemain debus pernah mengalami luka parah. Tahun lalu, sekelompok pria harus dirawat di rumah sakit setelah mereka mencuci tangannya dengan air keras. Aksi itu dilakukan karena mengikuti perintah ahli debus yang ingin menunjukkan bahwa tangan pemain akan kebal terhadap cairan tersebut.

Afandi menekankan, para pemain debus harus memiliki keyakinan kuat kepada Tuhan. “Semakin kita percaya pada Tuhan, semakin kuat energinya. Energi akan berubah menjadi hal buruk jika seseoran ragu-ragu,” pungkasnya.