Anthony Fokker, Pembuat Pesawat Andalan PD I yang Lahir di Blitar

By Gregorius Bhisma Adinaya, Senin, 23 Juli 2018 | 11:55 WIB
Anthony Foker (Prinx Maurice)

Tak ada yang mengira jika Anthony Fokker yang lahir di Blitar, Indonesia, akan menjadi seorang tokoh pembuat pesawat tempur, Fokker D VII—yang menjadi andalan Jerman selama Perang Dunia I (PD I).

Para petinggi militer Jerman yang mengagumi Fokker D VII bahkan tidak mengira jika perancang pesawat tempur yang mereka kagumi adalah seorang Belanda yang selalu diposisikan sebagai outsider.

Ketertarikan Fokker terhadap rancangan pesawat terbang sudah diprediksi oleh sang ayah, Herman Fokker. Hermann Fokker bahkan sudah menduga bahwa kelak anaknya akan menjadi tokoh besar dalam dunia penerbangan.

Baca juga: Gelombang Panas Memunculkan Sejumlah Situs Sejarah yang Hilang

Fokker yang lahir di Blitar pada 6 April 1890, berasal dari keluarga pengusaha perkebunan. Ayahnya seorang pemilik perkebunan kopi, dan hasil panennya merupakan barang ekspor bernilai tinggi ke sejumlah negara Eropa.

Walaupun lahir di Blitar, namun Fokker hanya tinggal di Indonesia sampai dengan usia empat tahun. Keputusan keluarga untuk pulang dan menetap di Harlem, Belanda, membuatnya meninggalkan tempat kelahirannya.

Ketertarikan Fokker terhadap rancang bangun mesin pesawat dan kereta api semakin terlihat ketika ia memasuki sekolah menengah. Fokker selalu menggambar mesin pesawat dan kereta api di dalam kelas.

Ketertarikan terhadap pesawat terbang semakin menggila ketika ia menyaksikan demo flight yang dilaksanakan oleh perancang pesawat pertama di dunia, Wilbur Wright, pada tahun 1908 di Le Mans, Perancis.

Semakin tertarik dengan rancangan mesin justru membuat Fokker tidak tertarik dan tidak dapat fokus pada pelajaran di sekolah. Fokker kemudian menyerah dan drop out dari sekolah menengah.

Sang ayah tidak menyerah dengan keadaan tersebut. Ia justru mengirim Fokker untuk sekolah teknik mesin mobil di J Bingen Technical School, Jerman. Namun karena ketertarikan Fokker lebih berat terhadap mesin pesawat, maka ia kemudian dipindahkan ke Erste Deutsche Automobil Fachshule yang berada di kawasan Mainz.

Baca juga: Arkeolog Ungkap Isi Sarkofagus Misterius yang Dianggap Terkutuk

Pendidikan teknik penerbangan yang dijalani Fokker segera membuahkan hasil. Fokker berhasil membuat pesawat rancangannya sendiri, De Spin.

Agustus 1911, ia melaksanakan demo flight di sekeliling menara Sint Bavokerk yang menjulang di Harlem. Aksi penerbangan Fokker menggunakan De Spin ini menjadikan dirinya bak selebriti. Fokker bahkan diundang terbang di atas Belanda untuk ikut memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Keberhasilan ini membuat Fokker melangkahkan kakinya untuk tidak "sekadar" merancang pesawat dan membuatnya. Fokker memutuskan kembali ke Jerman untuk memulai bisnisnya di dunia penerbangan.

Warga Jerman

Pada tahun 1912, Fokker kembali ke Jerman dan menetap di Johannistal, Berlin. Fokker kemudian mendirikan sebuah abrik pesawat terbang, Fokker Aeroplanbau di Johannistal.

Ketika pabriknya terus berkembang dan mampu memproduksi berbagai tipe pesawat, Fokker kemudian memindahkan pabriknya menuju kawasan Schwerin dan mengubah nama pabriknya menjadi Fokker Werke GmbH.

Karier Fokker semakin menanjak ketika ia menciptakan sebuah pesawat berbahan kayu—secara teknis, Fokker terinspirasi dari pesawat Perancis, Morane Sauliner. Pesawat ini kemudian menjadi pesawat tempur andalan Jerman.

Baca juga: Demam Piala Dunia Masih Bergema di Kamp Pengungsian Rohignya

Tidak berhenti sampai di situ, dengan lisensi dari pabrik pesawat Perancis, Le Rhone, Fokker kemudian mengembangkan pesawat tersebut menjadi beberapa tipe dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan pesawat yang ia "tiru".

Walau menyandang predikat perancang pesawat terbaik di Jerman, Fokker sempat dianggap sebagai warga kelas dua dan dianggap sebagai orang asing oleh para perancang lainnya. Bukan tanpa sebab, saat itu Fokker masih berkewarganegaraan Belanda.

Sistem rotary engine yang secara kemampuan (power) dan kualitas lebih unggul dibandingkan sistem rotary engine buatan perancang Jerman, dianggap sebagai barang kelas dua.

Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif, Fokker lebih memilih untuk mengalah. Selama tinggal di Jerman, Fokker sudah terbiasa dan maklum terhadap warga Jerman (ras Germania) yang selalu merasa lebih unggul dibandingkan bangsa lainnya.

Namun ketika militer Jerman mulai memikirkan pentingnya sebuah pesawat dalam pertempuran, Fokker kemudian diterima sebagai warga Jerman (1914) dengan syarat pesawat hasil rancangannya harus bermanfaat bagi militer Jerman.

Seiring dengan pecahnya PD I, produksi pesawat rancangan Fokker yang digunakan untuk bertempur menjadi semakin beragam. Pesawat tempur Fokker E I yang sengaja dirancang untuk kepentingan militer Jerman, langsung membuat militer Jerman tertarik. Sistem penembakkan senapan mesin pesawat Fokker E I sudah bisa sinkron dengan putaran baling-baling pesawat.

Baca juga: Mengapa Gerhana Bulan 27 Juli Akan Berlangsung Dalam Waktu yang Lama?

Pesawat ini pun menjadi "raja langit" selama satu tahun di kawasan Eropa Barat.

Sistem penembakan senapan mesin—peluru yang ditembakkan mampu melintas di antara putaran baling-baling— ini sebenarnya bukan murni rancangan Fokker. Sistem ini adalah sistem yang dimiliki oleh sebuah pesawat Perancis yang ditembak jatuh dan disita oleh militer Jerman pada April 1915.

Pilot Perancis yang selamat dari jatuhnya pesawat tersebut, Roland Garros, adalah seorang perancang alat tembak (synchronization device). Walaupun ditawan oleh pihak militer Jerman, namun Roland memberikan banyak masukan dan saran kepada teknisi Jerman, termasuk Fokker.

Dengan keahliannya, Fokker dapat menyelesaikan pengembangan synchronization device hanya dalam waktu 48 jam saja.

Memasuki tahun 1916, pertempuran udara di langit Eropa menjadi semakin menyeramkan dan mematikan setelah keikutsertaan pesawat biplane tipe baru Fokker D II dan D III, yang memiliki kemampuan lebih cepat (150 kilometer per jam) dan bersenjata mesin tunggal IMG 08 kaliber 7,92 mm.

Keadaan menjadi semakin "seru" ketika pesawat buatan Fokker diimbangi oleh pesawat temput biplane Albatros D I dan D II (menggunakan mesin yang lebih kuat, Mercedes). Pesawat karya Fokker kemudian ditawarkan kepada Belanda.

Baca juga: Roti Tertua Berusia 14.500 Tahun Ditemukan di Situs Arkeologi Yordania

Masa suram pun menghampiri Fokker pada tahun 1916. Pesawat ciptaannya dianggap tidak berkembang dan tidak mampu menyaingi pesawat tempur lainnya. Lembaga pengawas penerbangan militer Jerman, Inspektion der Fliegertruppen (Idflieg) memerintahkan agar Fokker bekerja sama dengan industri penerbangan lainnya demi peningkatan mutu.

Keadaan perlahan berubah ketika kepala perancang Fokker, Martin Kreuzer tewas akibat kecelakaan pesawat. Martin digantikan oleh Franz Moser yang kelak sukses merancang pesawat Fokker Dr 1 triplane, D VII biplane, dan D VIII monoplane.

Di bawah kepemimpinan Martin, Fokker Werke GmbH mengalami kemajuan yang signifikan. Kemajuan ini semakin meningkat ketika Menteri Penerbangan Jerman (Air Ministry) memerintahkan merger antara Fokker dengan industri penerbangan Hugo Junker.

Tujuan dari peleburan dua raksasa industri pesawat ini adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan pesawat tempur bagi Imperial German Army Air Service (Luftstreitkraffe).

Dengan peleburan ini lahirlah pesawat triplane Dr I (Dreidecker I) yang kemudian diproduksi secara massal pada musim panas 1917. Sayangnya, pesawat ini dibayang-bayangi oleh masalah teknis yang kemudian dibayar mahal dengan gugurnya sejumlah pilot Jerman. Pesawat jenis ini kemudian dikandangkan untuk dikembangkan lebih lanjut.

Baca juga: Serigala Chernobyl Sebarkan Mutasi Genetik Akibat Radiasi Nuklir?

Untuk kemampuan menanjak dan bermanuver, Dr I tidak mengalami masalah. Namun kecepatan dan aerodinamika sayap Dr I perlu diberikan perbaikan. Modifikasi yang dilakukan terhadap pesawat Dr I adalah pemasangan sayap model biplane, V-11 dan penggantian mesin baru menggunakan Mercedes DIII.

Berkat modifikasi itu, Fokker Dr I pun menjadi pesawat tempur unggulan dan berhasil mencetak pilot tempur tersohor Red Baron, Manfred von Richthofen.