Mengapa Kita Mengalami Deja Vu? Ilmuwan Mencoba Menjelaskannya

By Gregorius Bhisma Adinaya, Rabu, 25 Juli 2018 | 13:59 WIB
Ilustrasi ingatan yang tidak terlalu jelas. (francescoch/Getty Images/iStockphoto)

"Ada berbagai macam pengalaman disasosiatif yang bisa terjadi. Terkadang Anda tidak dapat memastikannya, misalnya apakah Anda memimpikan sesuatu atau mengalaminya, apakah Anda melihatnya di film atau terjadi dalam kehidupan nyata," tambahnya.

Gangguan memori

Selain penjelasan di atas, para ilmuwan juga pernah menjelaskan apakah deja vu merupakan gangguan sirkuit memori jangka panjang dan memori jangka pendek di otak. Artinya informasi baru dapat mengambil jalan pintas langsung ke ingatan jangka panjang.

Penelitian terkait memori ini dilakukan oleh Akira O’Connor dan rekan-rekannya di University of St Andrews, Inggris. O'Connor berhasil mengetahui apa yang terjadi pada otak selama deja vu.

Untuk mengetahui hal itu, O'Connor mengamati otak dari 21 peserta. Para peserta diminta melakukan serangkaian tes umum untuk memicu kenangan palsu.

Para peneliti memberi peserta daftar kata-kata terkait, seperti kasur, malam, tidur sebentar, dan tidur siang. Ketika para peserta ditanya tentang kata sesudahnya, mereka cenderung memberi kata-kata yang terkait dengan apa yang pernah mereka dengar, dalam hal ini tidur.

Baca juga: Benarkah Manusia Hanya Memakai 10 Persen dari Kemampuan Otaknya?

Untuk mencoba menciptakan perasaan deja vu, para peneliti bertanya pada peserta apakah mereka mengetahui kata yang di awali huruf t. Para peserta menjawab tidak tahu.

Namun ketika para peneliti bertanya tentang kata tidur, peserta ingat bahwa mereka mungkin pernah mendengarnya, tapi rasanya sama semua.

Dalam penelitiannya, O’Connor dan tim berusaha untuk menciptakan sensasi deja vu pada partisipan dengan cara menanamkan memori palsu. Tim kemudian memindai otak partisipan yang mengalami deja vu tersebut menggunakan fMRI.

Awalnya, para ilmuwan mengira bahwa area otak yang terlibat dengan pengelolaan memori, seperti hipokampus, akan aktif selama fenomena ini, namun ternyata tidak demikian. Tim justru menemukan lobus frontal, area otak yang terlibat dalam pengambil keputusan menjadi lebih aktif.

Oleh karena itu, O'Connor berpikir bahwa daerah frontal otak bisa membalik-balik ingatan kita. Area tersebut mengirimkan sinyal jika ada ketidakcocokan antara apa yang kita pikir telah dialami dengan apa yang sebenarnya.