Holocaust dan Perjalanan Kebencian yang Ditularkan oleh Nazi Jerman

By Mar'atus Syarifah, Rabu, 1 Agustus 2018 | 15:26 WIB
Monumen peringatan korban pembunuhan Bangsa Yahudi selama PD II (BrasilNut1/Getty Images)

Baca Juga: Penelitian Mengungkap Bahwa Perempuan Lebih Emosional daripada Lelaki

Monumen peringatan anak-anak korban tindakan Nazi. (hopsalka/Getty Images)

Awal Perang 

Pada bulan September 1939, tentara Jerman menduduki bagian barat Polandia. Polisi Jerman segera mengusir puluhan ribu orang Yahudi Polandia dan dipindahkan ke ghetto. Di dalam Ghette, pengangguran meluas, kemiskinan, kelaparan, kelebihan populasi dan penyebaran penyakit menular semakin menjadi.

Nazi juga melakukan program Euthanasia pada orang-orang yang menderita cacat dan penyakit mental.

“Solusi Akhir”

Tahun 1940, tentara Jerman memperluas kekuasaanya di Eropa dengan menaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia, Luksemburg, dan Prancis. Mulai tahun 1941, orang-orang Yahudi dari seluruh benua, serta ratusan ribu Gipsi Eropa, diangkut ke ghetto-ghetto Polandia. Jerman kemudian meluncurkan invasi ke Uni Soviet pada bulan Juni 1941.

Dibentuknya Einsatzgruppen – unit pembunuh - berhasil menghabisi lebih dari 500.000 orang Yahudi Uni Soviet dan lainnya.

Sebuah memorandum yang tertanggal 31 Juli 1941,tertulis Hermann Goering kepada Reinhard Heydrich berisikan tentang pentingnya Endlösung (solusi akhir). Awal September tahun 1941, semua seorang Yahudi di wilayah yang dikuasai Jerman ditandai dengan bintang kuning, yang berarti target terbuka.

Sejak Juni 1941, eksperimen dengan metode pembunuhan massal telah berlangsung di kamp konsentrasi Auzchwitz, dekat Krakow. Pada bulan Agustus itu, 500 pejabat menghabisi 500 tahanan perang Uni Soviet hingga mati dengan pestisida Zyklon-B. Pada tahun 1942, Reinhard Heydrich mulai menyisiri bangsa Yahudi yang berada dibawah kekuasaan Jerman

Baca Juga: Ilmuwan Gunakan Beras Untuk Mencegah HIV, Bagaimana Caranya?

Setelah Holocaust

Karena sebuah kebencian, Adolf Hitler berhasil memengaruhi Jerman untuk membenci Yahudi. Melalui kata-kata, Hitler mengeksplorasi komunikasi verbal sehingga mampu menggiring pemikiran orang lain agar sepemahaman dengan dirinya.

Kini, Holocaust telah menjadi paradigma terhadap genosida yang lebih baru. Di Bosnia terjadi genosida pada tahun 1995 oleh pasukan Serbia sebagai upaya pembersihan etnis. Sedangkan di Rwanda, pada tahun 1994 terjadi pembantaian 800 ribu suku oleh sekelompok ekstremis.

Apapun yang menjadi alasan Holocaust, semuanya memiliki landasan yang sama, yaitu kebencian.

Dalam delapan belas bulan terakhir, Donald Trump telah menyebarkan kebenciannya terhadap golongan tertentu. Tanpa pemikiran yang jelas untuk konsekuensinya, ia menyebarkan kebencian melalui media. Ia menyuntikkan pidatonya dengan komentar rasis dan secara verbal menyerang siapa saja yang tidak setuju dengannya.

Sedangkan di Inggris, retorika kebencian telah merekrut ekstremis untuk kelompok-kelompok yang mengerikan seperti ISIS. Ketakutan terhadap golongan tertentu menyebar melalui komunitas, menciptakan kecurigaan, ketidakpercayaan dan bahkan tidak beralasan. Meskipun demikian, terbentuk juga gerakan untuk menghilangkan kebencian ini pada masyarakat kedua negara tersebut.