Holocaust dan Perjalanan Kebencian yang Ditularkan oleh Nazi Jerman

By Mar'atus Syarifah, Rabu, 1 Agustus 2018 | 15:26 WIB
Monumen peringatan korban pembunuhan Bangsa Yahudi selama PD II (BrasilNut1/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id - Kata “Holocaust,” berasal dari bahasa Yunani, “holos” (utuh) dan “kaustos” (terbakar), secara historis digunakan untuk menggambarkan korban persembahan yang dibakar di atas altar.

Sejak tahun 1945, kata tersebut memiliki arti baru yang mengerikan, yaitu pembunuhan massal terhadap orang Yahudi di Eropa (serta anggota dari beberapa kelompok lain yang dianiaya, seperti Gipsi dan homoseksual) oleh rezim Nazi Jerman selama Perang Dunia Kedua.

Selama rezim Nazi berkuasa pada 1933 hingga 1945, Adolf Hitler gemar menyebarkan kebencian, menciptakan prasangka dan intoleransi terhadap orang Yahudi. Hal tersebut pada akhirnya mengakibatkan kematian enam juta pria, wanita dan anak-anak Yahudi.

Sebagai orang yang anti-semitisme, Adolf Hitler memandang orang Yahudi sebagai ras yang inferior. Yahudi merupakan ancaman semacam alien terhadap kemurnian ras dan komunitas Jerman. Selama bertahun-tahun orang-orang Yahudi secara konsisten dianiaya oleh Nazi. Setelah itu dibuatlah sebuah rencana yang disebut dengan "solusi akhir".  

Baca Juga: Emisi Karbon Membuat Iklim Bumi Kembali Seperti 50 Juta Tahun Lalu

Sebelum Holocaust

anti-semitisme di Eropa ternyata tidak diawali oleh Adolf Hitler. Terdapat bukti permusuhan terhadap orang-orang Yahudi jauh sebelum terjadinya Holocaust pada zaman Hitler. Pada zaman Romawi, otoritas Romawi melangsungkan penghancuran kuil Yahudi di Yerusalem dan memaksa orang-orang Yahudi untuk meninggalkan Palestina.

Pada abad ke-19, Napoleon dan para penguasa Eropa lainnya memberlakukan undang-undang yang berakhir pada penahanan orang-orang Yahudi. Alasan munculnya anti-semitisme saat itu lebih karena rasial daripada religius.

Revolusi Nazi

Kemurnian ras dan ekspansi spasial adalah inti dari pandangan dunia Hitler. Kamp konsentrasi resmi pertama dibuka di Dachau pada bulan Maret tahun 1933. Di bawah kendali Heinrich Himmler, kamp-kamp tersebut telah menahan sekitar 27.000 orang.

Selama enam tahun berikutnya, mereka mulai memecat orang Yahudi dari layanan sipil, melikuidasi bisnis milik Yahudi dan menelanjangi pengacara Yahudi serta dokter. Di bawah Hukum Nuremberg (1935), orang Yahudi menjadi sasaran rutin untuk stigmatisasi dan penganiayaan. 

Pada bulan November 1938 tindakan Nazi memuncak. Hal ini ditandai dengan malam Kristallnachy atau malam “pecahan kaca” dimana sinagoge – tempat ibadah orang Yahudi – di Jerman dibakar dan jendela-jendela di toko-toko Yahudi dihancurkan. Meskipun banyak yang terbunuh, sebagian besar dari 500 ribu orang Yahudi berhasil kabur meninggalkan Jerman.

Baca Juga: Penelitian Mengungkap Bahwa Perempuan Lebih Emosional daripada Lelaki

Monumen peringatan anak-anak korban tindakan Nazi. (hopsalka/Getty Images)

Awal Perang 

Pada bulan September 1939, tentara Jerman menduduki bagian barat Polandia. Polisi Jerman segera mengusir puluhan ribu orang Yahudi Polandia dan dipindahkan ke ghetto. Di dalam Ghette, pengangguran meluas, kemiskinan, kelaparan, kelebihan populasi dan penyebaran penyakit menular semakin menjadi.

Nazi juga melakukan program Euthanasia pada orang-orang yang menderita cacat dan penyakit mental.

“Solusi Akhir”

Tahun 1940, tentara Jerman memperluas kekuasaanya di Eropa dengan menaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia, Luksemburg, dan Prancis. Mulai tahun 1941, orang-orang Yahudi dari seluruh benua, serta ratusan ribu Gipsi Eropa, diangkut ke ghetto-ghetto Polandia. Jerman kemudian meluncurkan invasi ke Uni Soviet pada bulan Juni 1941.

Dibentuknya Einsatzgruppen – unit pembunuh - berhasil menghabisi lebih dari 500.000 orang Yahudi Uni Soviet dan lainnya.

Sebuah memorandum yang tertanggal 31 Juli 1941,tertulis Hermann Goering kepada Reinhard Heydrich berisikan tentang pentingnya Endlösung (solusi akhir). Awal September tahun 1941, semua seorang Yahudi di wilayah yang dikuasai Jerman ditandai dengan bintang kuning, yang berarti target terbuka.

Sejak Juni 1941, eksperimen dengan metode pembunuhan massal telah berlangsung di kamp konsentrasi Auzchwitz, dekat Krakow. Pada bulan Agustus itu, 500 pejabat menghabisi 500 tahanan perang Uni Soviet hingga mati dengan pestisida Zyklon-B. Pada tahun 1942, Reinhard Heydrich mulai menyisiri bangsa Yahudi yang berada dibawah kekuasaan Jerman

Baca Juga: Ilmuwan Gunakan Beras Untuk Mencegah HIV, Bagaimana Caranya?

Setelah Holocaust

Karena sebuah kebencian, Adolf Hitler berhasil memengaruhi Jerman untuk membenci Yahudi. Melalui kata-kata, Hitler mengeksplorasi komunikasi verbal sehingga mampu menggiring pemikiran orang lain agar sepemahaman dengan dirinya.

Kini, Holocaust telah menjadi paradigma terhadap genosida yang lebih baru. Di Bosnia terjadi genosida pada tahun 1995 oleh pasukan Serbia sebagai upaya pembersihan etnis. Sedangkan di Rwanda, pada tahun 1994 terjadi pembantaian 800 ribu suku oleh sekelompok ekstremis.

Apapun yang menjadi alasan Holocaust, semuanya memiliki landasan yang sama, yaitu kebencian.

Dalam delapan belas bulan terakhir, Donald Trump telah menyebarkan kebenciannya terhadap golongan tertentu. Tanpa pemikiran yang jelas untuk konsekuensinya, ia menyebarkan kebencian melalui media. Ia menyuntikkan pidatonya dengan komentar rasis dan secara verbal menyerang siapa saja yang tidak setuju dengannya.

Sedangkan di Inggris, retorika kebencian telah merekrut ekstremis untuk kelompok-kelompok yang mengerikan seperti ISIS. Ketakutan terhadap golongan tertentu menyebar melalui komunitas, menciptakan kecurigaan, ketidakpercayaan dan bahkan tidak beralasan. Meskipun demikian, terbentuk juga gerakan untuk menghilangkan kebencian ini pada masyarakat kedua negara tersebut.