Kisah Gadis Cilik dan Baju Hangat yang Menyelamatkannya dari Holocaust

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 3 Agustus 2018 | 16:51 WIB
Baju hangat yang berhasil menyelamatkan Kristine Keren saat Holocaust. (Holocaust Memorial Museum)

Nationalgeographic.co.id - Jika Anda bertanya kepada Suzy Snyder, kurator museum, tentang benda apa yang paling berharga di antara koleksi Holocaust Memorial Museum, dia tidak akan mengarahkan Anda kepada gerbong yang digunakan untuk mendeportasi orang-orang Yahudi atau tumpukan sepatu mereka sebelum dibunuh di kamp kematian.

Snyder hanya akan menunjukkan benda sederhana, yaitu sebuah baju hangat berwarna hijau pastel.

Sweater tersebut dipakai oleh gadis kecil bernama Kristine Karen, saat ia meringkuk di selokan Lvov, Polandia, untuk menghindari serangan Nazi. Bagi Snyder, itu merupakan benda unik yang menyentuh dari peristiwa Holocaust.

Baca juga: Misteri Segitiga Bermuda: Ketika Kapal Terbesar AS Hilang Tanpa Jejak

Pada 1943, Kristine Chiger (ia mengubah nama belakangnya menjadi Keren setelah perang) masih berusia tujuh tahun. Ia tinggal di kampung Yahudi di Lvov, Polandia. Baju hangat berwarna hijaunya yang dibuat oleh sang nenek sebelum Jerman menginvasi Polandia, merupakan harta karun bagi Kristine.

Dua tahun sebelumnya, Kristine menyaksikan bagaimana neneknya diangkut paksa ke dalam truk dan dideportasi ke kamp kematian Belzec. Ketika nenek Kristine mengucapkan selamat tinggal, anggota Nazi memukul kepalanya dengan gagang senapan.

Setelahnya, Kristine menjalani kehidupan seperti ‘buron’. Di siang hari, kedua orangtuanya melaksanakan kerja paksa di kamp, sementara adik laki-lakinya bersembunyi di dalam apartemen sempit demi menghindari deportasi.

Ketika Nazi melakukan pengecekan secara acak, Kristine akan menempatkan adiknya ke dalam koper lalu bersembunyi di sudut di belakang jubah mandi ibunya.

Foto Kristine yang diambil setelah perang berakhir. (Holocaust Memorial Museum)

Kehidupan semakin buruk bagi Kristine ketika Nazi memutuskan untuk menghancurkan wilayah tempat tinggalnya. Untuk menghindari kamp kematian, Kristine dan keluarganya berdiam di bawah tanah.

“Itu sangat mengerikan. Rasanya seperti di neraka,” kenang Kristine pada 2007. Ia dapat mendengar anak-anak yang bermain di atas tanah dan suara mobil yang melintas, namun tidak bisa keluar dari bawah tanah untuk mendapatkan udara segar.

Di dalam terowongan bawah tanah yang sempit dan gelap, keluarga ini dikelilingi bau yang tak tertahankan dan air yang terus menerus naik setiap hujan. Tikus menjadi makanan utama dan mereka harus bertahan hidup dari serangan kutu, disentri, dan campak.